Franz Magnis-Suseno: Indonesia Harus Hindari Hukuman Mati
Sebagai negara beradab, Indonesia tidak boleh menghindar lagi dari pembahasan pidana mati.
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com, Jakarta - Sebagai negara beradab, Indonesia tidak boleh menghindar lagi dari pembahasan pidana mati.
“Nyawa orang lain adalah suci dan sakral. Karena itu, tak seorang pun berhak merampasnya,” tegas budayawan Franz Magnis-Suseno dalam peluncuran dan diskusi buku bertajuk “Politik Hukum Pidana Mati” karya Direktur Eksekutif Respublica Political Institute, Benny Sabdo di Jakarta, Kamis, 10 Desember 2015.
Menurut Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini, buku ini tidak hanya mengajukan argumentasi ketat demi penghapusan pidana mati, tetapi juga memberikan informasi penting tentang pidana mati pada umumnya dan sejarah pidana mati di Indonesia.
“Orang yang tidak sependapat dengan penulis pun akan mendapat manfaat membaca buku yang sangat informatif ini,” katanya.
Sementara Koordinator KontraS, Haris Azhar menyambut baik dengan terbitnya buku ini. Menurut dia, buku ini dapat menambah referensi dan informasi perdebatan soal (penghapusan) pidana mati di Indonesia.
“Persoalan pidana mati belum dilihat sebagai sebuah dilema etika kemanusiaan di Indonesia,” tandas Haris.
Di negeri ini, demikian Haris, pidana mati masih dijadikan instrumen popularitas bagi penguasa.
“Sementara masyarakat frustrasi dengan kinerja penegak hukum, maka dari itu mereka cenderung setuju dengan pidana mati,” ucapnya.
Ketua Tim Kampanye Penghapusan Pidana Mati ASEAN, Patricia Rinwigati Waagstein mengatakan pidana mati juga seringkali dianggap sebagai efisiensi dana.
Menurutnya, eksekusi mati dianggap dapat menjadi jalan keluar dari persoalan-persoalan yang seringkali dihadapi oleh lembaga pemasyarakatan seperti kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, sangat minimnya fasiltas dalam lembaga pemasyarakatan, dan minimnya budget untuk lembaga pemasyarakatan.
Menjatuhkan pemidanaan seumur hidup akan memberikan beban yang lebih besar kepada negara untuk membiaya seseorang dalam lembaga pemasyarakatan.
Namun, Ririn, sapaan akrab Patricia Rinwigati Waagstein berdasarkan data dari berbagai sumber yang diperoleh, walaupun dalam UU No. 2/PNPS/Tahun 1964 menyatakan cara eksekusi harus dilakukan sesederhana, kenyataannya pelaksanaan eksekusi juga memakan biaya yang tidak sedikit, bahkan lebih mahal daripada biaya seorang narapidana dalam lembaga pemasyarakatan untuk bertahun-tahun. Dengan demikian sukar untuk menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi pidana mati dianggap sebagai upaya efisiensi dana negara.
Secara teoritis, demikian pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, hubungan antara suatu pidana dan tingkat kejahatan adalah berbanding terbalik. Semakin berat suatu hukuman maka angka kriminalitas diharapkan semakin menurun.
Dengan demikian, pemidanaan dianggap sebagai suatu alat pencegahan suatu tindak pidana. Namun hal tersebut tidak selamanya terjadi.
”Banyak riset membantah hal tersebut. Berat atau ringannya suatu pidana tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur penghitungan kenaikan atau penurunan suatu angka kriminalitas,” tandasnya.
Dalam hal pidana mati, jelas Ririn, penjatuhan pidana mati bukanlah faktor deteransi yang lebih kuat ketimbang pidana penjara sehingga belum dapat disimpulkan pidana mati mampu berfungsi sebagai faktor deteransi. Contoh nyata dapat ditemukan dalam kasus pidana narkoba.
”Angka terbesar dari pidana mati yang dijatuhkan dan dieksekusi berapa tahun terakhir dijumpai dalam kasus narkoba, namun jumlah kasus kriminalitas yang terkait dengan narkoba juga semakin naik,” gugatnya.
Sementera Benny sangat menyesalkan justru di pemerintahan sipil yang kerakyatan Indonesia mengeksekusi mati beberapa orang sekaligus.
“Kita juga bertanya mengapa tindakan itu justru populer di dalam negeri. Apa yang salah dengan hukum dan politik kita,” kritik Benny. Diskusi yang dipandu oleh Direktur Riset Respublica Political Institute, Raymond Jr Pardamean Sihombing itu dihadiri puluhan aktivis dari berbagai komunitas.
Lebih lanjut, Benny juga mengkritik kinerja para penegak hukum yang miskin akuntabilitas sehingga kejahatan narkoba tetap meningkat.
Faktanya pidana mati tidak menyurutkan kejahatan narkoba. Menurut Benny, perbaikan akuntabilitas dan integritas penegakan hukum adalah mutlak.
Menurutnya, Indonesia tidak boleh terjebak eforia kesadaran palsu terhadap dukungan pidana mati. “Semakin negara itu demokratis harus semakin menghormati dan melindungi hak asasi manusia,” kata Benny. (put)