Kejagung Sudah Penyelidikan, MKD Belum Juga Tahu Pelanggaran Etik Novanto
MKD memerlukan rekaman orisinil percakapan pertemuan tersebut dari Kejaksaan Agung untuk selanjutnya diuji kebenaran isi rekaman di forensik Polri.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hampir sebulan sejak laporan hingga kini Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR belum juga bisa memutuskan pelanggaran etik Ketua DPR Setya Novanto terkait pembahasan kontrak dan saham PT Freeport Indonesia (PT FI), kendati ada sejumlah fakta dalam persidangan sebelumnya.
Sementara, Kejaksaan Agung meski beberapa hari menerima laporan kasus yang sama, kini sudah meningkat ke penyelidikan tentang dugaan permufakatan jahat korupsi.
MKD mengklaim hingga saat ini belum bisa mengukur patut atau tidak maupun etis atau tidak pertemuan Novanto, pengusaha M Riza Chalid dan Presdir PT FI, Maroef Sjamsoeddin, di Hotel Ritz Carlton Jakarta pada 8 Juni 2015.
Sebab, sejauh ini baru ada alat bukti berupa keterangan kesaksian Maroef dan salinan rekaman percakapan pembahasan perpanjangan kontrak karya dan saham PT FI tersebut.
"Bagaimana mau mengukur, alat bukti belum cukup, karena copy rekaman belum bisa dipastikan kebenaran-kebenarannya," kata Dasco, Kamis (10/12/2015).
Menurut Dasco, MKD memerlukan rekaman orisinil percakapan pertemuan tersebut dari Kejaksaan Agung untuk selanjutnya diuji kebenaran isi rekaman di forensik Polri.
Namun, upaya MKD meminjam rekaman orisinil ke Kejagung itu gagal karena penolakan dari pemilik rekaman, Maroef.
Sebab, Kejagung sendiri tengah menyelidiki kasus tersebut sebagaimana laporan Maoroef.
MKD akan menggelar rapat internal pada Senin (14/12/2015) pukul 10.00 WIB, untuk membahas soal gagalnya meminjam rekaman asli dari Kejaksaan Agung.
Belum diketahui langkah lanjutan dari MKD terkait kasus etik Novanto ini.
Dasco mengungkapkan, sebagian besar dari 17 anggota MKD masih 'ngotot' agar dilakukan verifikasi rekaman percakapan.
Sebagian dari mereka justru yang sebelumnya menolak dilakukannya verifikasi rekaman.
"Biarlah kita ikuti saja, karena sebagian kami mengotot uji forensik juga. Padahal, kalau uji terlalu lama menunggu, kita bisa panggil saja Riza. Yang menolak permintaan rekaman ada Akbar Faisal, Syarifuddin Sudding, saya, Guntur dan Junimart. Sisanya ngotot dan pimpinan memutuskan untuk meminta rekaman, ya dipatuhi saja," jelasnya.