Merusak Kehormatan DPR
Anggota DPR memiliki kewajiban moral, etik, dan hukum untuk menjaga dan melindungi institusi mereka.
Editor: Hasanudin Aco
Namun, yang terjadi, upaya Novanto tidak mungkin dikategorikan sebagai tindakan institusi DPR karena jauh berada di luar pakem pelaksanaan fungsi pengawasan.
Artinya, ketika Novanto datang dengan seseorang yang bukan menjadi bagian dari struktur DPR, tindakan tersebut sangat bisa dipersoalkan secara etik karena melakukan hubungan dengan maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Bagaimanapun, tindakan tersebut sangat jauh dari profesionalisme dalam melakukan hubungan kerja. Larangan melakukan kontak dengan mitra yang tidak profesional dan berpotensi KKN tersebut diatur eksplisit di dalam Pasal 4 Peraturan DPR No 1/2015.
Ketiga, secara kasatmata, kasus "papa minta saham" sangat mudah dilihat dari larangan konflik kepentingan sebagai salah satu bentuk pelanggaran kode etik.
Dalam hal ini, Pasal 6 Peraturan DPR No 1/2015 menyatakan bahwa anggota DPR dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili, dan golongan.
Dalam kasus Novanto, yang disandang di dalam pertemuan dengan pihak Freeport bukan hanya status sebagai anggota DPR, melainkan juga jabatan tertinggi di Senayan, yaitu sebagai Ketua DPR.
Kewajiban MKD
Sebagaimana diatur dalam UU MD3, indikasi pelanggaran kode etik anggota DPR menjadi kewajiban Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk menelisik ada tidaknya pelanggaran tersebut. Dalam hal ini, Pasal 119 Ayat (2) UU MD3 menyatakan, MKD bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Sesuai dengan amanat Pasal 119 Ayat (2) UU MD3, kemampuan MKD menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR hanya mungkin diwujudkan apabila anggota MKD memiliki keinginan kuat menempatkan tujuan tersebut dan posisi institusi DPR di atas gumpalan kepentingan jangka pendek.
Salah satu kata kunci yang memungkinkan MKD berhasil: semua anggota MKD harus membuktikan diri terlepas dari kendali fraksi dan partai politik masing-masing.
Berkaca dari beberapa kali proses persidangan MKD, tujuan luhur membentuk MKD sangat sulit diwujudkan.
Meski mereka muncul dengan jubah kebesaran (mirip hakim) dan wajib dipanggil dengan sebutan "yang mulia", sebagian dari mereka dapat dikatakan gagal menempatkan dan menunjukkan diri sebagai figur yang bisa menjaga kehormatan dan keluhuran martabat DPR.
Bahkan, tanpa rasa malu, sebagian mereka menjadikan MKD sebagai arena untuk menghakimi pelapor dan kemudian sengaja membelokkan substansi laporan ke arah yang berbeda.
Selain itu, selama persidangan berlangsung, di antara anggota MKD secara kasatmata menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka bukan wakil rakyat, tetapi menjadi badut-badut elite partai politik.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.