Kejagung Tidak Tutup Kemungkinan Temui Riza Chalid
Namun, Fadil menyebutkan masih melihat keterdesakan dalam penyelidikan
Penulis: Valdy Arief
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung tidak menutup kemungkinan untuk menghampiri pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid guna meminta keterangan dalam penyelidikan dugaan permufakatan jahat.
Hal tersebut disampaikan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Fadil Zumhana.
"Kalau dia tidak datang, kami yang datangi. Itu dibenarkan," kata Fadil di Gedung Bundar Kejaksaan, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (16/12/2015).
Dirdik Jampidsus menjelaskan berdasarkan Pasal 112 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyelidik dapat mendatangi seseorang untuk meminta keterangan.
Namun, Fadil menyebutkan masih melihat keterdesakan dalam penyelidikan untuk menghampiri taipan minyak tersebut.
"Mungkin tanpa Riza Chalid bisa kami beri penjelasan dan penyimpulkan," kata Dirdik Jampidsus.
Terkait keberadaan Riza Chalid, saat ini, Jampidsus Arminsyah menyebutkan hanya tahu bahwa taipan minyak itu berada di luar negeri.
Pihak Kejaksaan juga telah meminta bantuan Intelijen Kejaksaan untuk menelusuri keberadaan Riza.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengaku sulit untuk melacak keberadaan pengusaha Muhammad Riza Chalid.
Pasalnya pengusaha yang terlibat dalam rekaman pembicaraan antara Ketua DPR Setya Novantoari dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, kerab menghilang.
"Saya kira susah (dicari) orangnya. Dia (Riza) selalu menghilang dari kerumunan dan keramaian," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Amir Yanto saat dihubungi Selasa (7/12/2015).
Amir menyatakan Riza Chalid sebenarnya telah dipanggil pada Senin (7/12). Namun pengusaha tersebut tidak memenuhi undangan untuk memberikan keterangan.
Pada rekaman itu terdapat pembicaraan antara Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, Ketua DPR Setya Novanto, dan pengusaha Muhammad Rizal Chalid.
Dalam pembicaraan tersebut, Setya Novanto mencatut nama presiden dan wakil presiden untuk meminta sejumlah saham perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu dan menjanjikan pemulusan negosiasi perpanjangan kontrak karya kawasan Tembagapura, Papua.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.