Setelah Novanto Mundur, Kejagung Jadwalkan Periksa Sesprinya
Setelah Setya Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR Rabu (16/12/2015) malam, Kejaksaan Agung mengundang Sekretaris Pribadinya, Medina pada hari ini (1
Penulis: Valdy Arief
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah Setya Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR Rabu (16/12/2015) malam, Kejaksaan Agung mengundang Sekretaris Pribadinya, Medina pada hari ini (17/12/2015) untuk memberikan keterangan.
"Hari ini dijadwalkan pemeriksaan sekretaris pribadi Pak Setya, Dina," kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Fadil Jumhana di Gedung Bundar Kejaksaan, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (17/12/2015).
Namun, hingga berita ini diterbitkan Medina belum kunjung memenuhi undangan Kejaksaan.
"Sampai sekarang yang bersangkutan belum datang," kata Fadil.
Panggilan Kejaksaan kali ini, kepada Madina, merupakan kali ketiga.
Pertama pada Kamis (10/12/2015).
Namun, tidak hadir dan hanya diwakili kuasa hukumnya.
Selanjutnya, pada permintaan untuk memberikan keterangan kedua kalinya, Senin (14/12), Sekretaris Setya Novanto hadir di Kejaksaan Agung.
Dina dimintai keterangan sebagai orang yang memesan tempat pertemuan antara Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Muhammad Riza Chalid di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada Senin (16/11/2015).
Pelaporan itu dilakukan karena Sudirman mengetahui Setya mencatut nama presiden dan wakil presiden saat bertemu Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin bersama pengusaha Muhammad Riza Chalid dari sebuah rekaman pembicaraan.
Dalam pertemuan tersebut Ketua DPR meminta sejumlah saham guna memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak karya pengelolaan wilayah Tembagapura, Papua oleh perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.