Presiden Agar Tak Terjebak Kepentingan Parpol dan Hancurkan Iklim Investasi
Jokowi diminta tidak terjebak pada kepentingan politik praktis dan mengorbankan iklim investasi yang mulai membaik
Penulis: Dahlan Dahi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta tidak terjebak pada kepentingan politik praktis dan mengorbankan iklim investasi yang mulai membaik di tengah stimulus yang diberikan dalam 7 paket ekonomi.
Pakar Hukum Pidana dan Tindak Pidana Korupsi LKBH FH Universitas Pelita Harapan Dr Jamin Ginting, menanggapi rekomendasi Pansus Pelindo II yang meminta presiden mencopot Meneg BUMN Rini Soemarno, Dirut Pelindo II RJ Lino dan membatalkan kerjasama investasi antara Pelindo II dan Hutchison Port Holding (HPH) di JICT.
"Sangat jelas terlihat motif utama pembentukan Pansus Pelindo II adalah mencopot meneg BUMN. Jika kepentingan seperti ini diakomodir, iklim investasi kita akan rusak dan kebijakan ekonomi Presiden bakal gagal total," tegas Jamin, Sabtu (19/12/2015).
Menurut Jamin, dari hasil rekomendasi dan data-data yang disampaikan, sangat jelas terlihat bahwa Pansus Pelindo II telah gagal untuk membuktikan alasan pembentukan pansus ini, yaitu dugaan adanya penyimpangan di Pelindo II.
Bahkan terkait perpanjangan kontrak JICT, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya telah menegaskan tidak adanya kerugian negara dan hasil lembaga itu mengikat.
"Presiden harus melihat masalah ini secara utuh. Jangan sampai kepentingan partai mengalahkan kepentingan ekonomi nasional," tegasnya.
Dalam situasi ekonomi yang sulit saat ini, lanjut Jamin, pemerintah mestinya bisa memberikan kepastian hukum terhadap para investor. Termasuk investor asing yang telah terbukti memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.
Di sektor pelabuhan kerjasama Pelindo II dan HPH terbukti telah meningkatkan standar layanan dan kapasitas JICT hingga berkelas dunia. Saat ini kapasitas terminal JICT mencapai 2,6 juta TEUs, meningkat tajam dibandingkan saat masih dikelola Pelindo II sendiri di tahun 1999 sekitar 1,4 juta TEUs.
Sementara itu, kerjasama dengan investor asing dalam pengusahaan kegiatan pelabuhan adalah hal yang wajar. Termasuk kerjasama Pelindo II dengan HPH di JICT. Hal ini disampaikan oleh Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi.
"Kerjasama dan perpanjangan itu merupakan hal biasa dan diakukan di semua Pelindo. Saya heran kenapa hanya JICT saja yang dipersoalkan?” ujar Rusdi.
Sebelumnya Direktur Utama Pelindo II, RJ Lino mengungkapkan bahwa banyak fakta yang disembunyikan oleh Pansus Pelindo II.
Misalnya soal dugaan pelanggaran UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. soal pelanggaran UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. BPK tidak mempermasalahkan implementasi Pasal 344 ayat (3) terkait konsesi dalam proses perpanjangan kerja sama pengelolaan JICT dan TPK Koja.
UU 17/2008 Pasal 344 ayat 3 hanya menunjuk Pasal 90 terkait lingkup Badan Usaha Pelabuhan, mengatur secara tegas bahwa pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh badan usaha milik negara (BUMN) Kepelabuhanan tetap diselenggarakan oleh BUMN kepelabuhanan dimaksud. Ketentuan ini memberikan pelimpahan secara langsung kepada Pelindo I, II, III, dan IV dalam penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan.
Artinya, Undang-Undang Pelayaran khususnya Pasal 344 menyatakan bahwa Pelindo I, II,III dan IV mendapat perlakuan khusus berupa konsesi yang diberikan langsung oleh undang-undang (concession by law).
"Jika perpanjangan JICT dianggap tidak sah karena dilakukan sebelum mendapat konsesi, maka pengelolaan pelabuhan oleh Pelindo I, II, III, dan IV sejak 2011 sampai dengan November 2015 juga dapat dianggap ilegal,” kata Lino.
Perpanjangan kontrak JICT juga memberikan keuntungan optimal kepada Pelindo II. Pada kontrak lama pendapatan tertinggi Pelindo dari JICT hanya USD 76 juta (2013). Namun, dengan kontrak baru Pelindo II sudah mengantongi biaya sewa sebesar USD 85 juta per tahun, belum termasuk dividen. Pelindo juga akan mengelola terminal II JICT.
Selain itu, Pelindo juga masih mendapat pembayaran uang muka kontrak (upfront fee) sebesar USD 215 juta. HPH pun mau menaikkan biaya sewa lebih dari dua kali lipat menjadi USD 85 juta dari sebelumnya 45 juta dollar AS per tahun. Pembayaran upfront fee dan penaikan biaya sewa itu dilakukan 4 tahun sebelum kontrak berakhir di 2019.
"Opsi perpanjangan kontrak ini merupakan yang terbaik bagi Pelindo II. Kita dapat modal untuk investasi dan pendapatan perusahaan juga naik. Termasuk kepemilikan saham Pelindo II sekarang mayoritas, seperti rekomendasi audit BPK," tegas Lino.
Seperti diketahui, sebelum memperpanjang kerjasama dengan HPH, Pelindo II juga memberikan penawaran kepada sejumlah operator pelabuhan seperti PSA (Singapura), Maersk Line, Daewoo dan China Merchant. Namun dengan skema kerjasama yang ditawarkan, penawaran dari HPH merupakan yang tertinggi dan terbaik.
Untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik, Pelindo II juga membentuk komite pengawas perpanjangan kontrak JICT ini. Ketua dan anggotanya terdiri dari orang-orang kredibel seperti Erry Riyana Hardjapamekas, Faisal Basri dan Lin Che Wei.
"Pelindo II selalu patuh dan taat terhadap aturan. Karena itulah Pelindo II bisa tumbuh menjadi BUMN pelabuhan terbesar.