Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dinasti Politik Mengancam Demokrasi

Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina, telah melahirkan dinasti politik yang mengancam sistem politik.

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Dinasti Politik Mengancam Demokrasi
Priyombodo
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina, telah melahirkan dinasti politik yang mengancam secara signifikan terhadap semangat sistem politiknya.

Pernyataan tersebut diungkapkan Julius Cesar I, Trajano dan Yoes C Kenawas (2001) dalam tulisannya Political Dynasties In Indonesia and The Philippines.

Dinasti politik di kedua negara tersebut bertahan karena keluarga menggunakan jaringan patronase, kekayaan dan dalam beberapa kasus kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan.

Hal tersebut juga diamini oleh Peneliti LIPI, Syamsuddin Harris yang menyatakan jika politik dinasti masih terus berlanjut, maka wajah-wajah baru yang mungkin jauh lebih baik untuk memimpin daerah akan tersingkir dengan sendirinya dan pelanggengan kekuasaan dari pihak tertentu akan terus berjalan.

"Saya rasa ancamannya nyata. Orang-orang yang baru akan sulit untuk memenangi pilkada karena ulah dari sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan," ujarnya saat dihubungi, Jakarta, Senin (21/12/2015).

Sedangkan, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan bahwa ancaman akan sangat dirasakan oleh masyarakat.

Berita Rekomendasi

Masalahnya, kepala daerah terpilih ditengarai akan melakukan politik transaksional karena hanya berada pada lingkup penguasaan seluruh sektor di daerah, terutama jika terdapat daerah yang mempunyai sumber daya alam yang baik.

"Masyarakat akan terjebak kepada politik prosedural yang dihasilkan dari politik kekerabatan bukan hasil perkawinan dari orang-orang yang berkompeten dan rekrutmen yang tidak benar dari partai politik," jelas Titi.

Selain itu, keterwakilan masyarakat dalam pilkada juga akan dipertanyakan, karena kepala derah terpilih tidak merepresentasikan masyarakat yang ada di wilayah tersebut.

Hal tersebut juga dikatakan oleh Professor of Northwestern University, Jeffrey A Winters (2011) yang menyebutkan bahwa Oligarki politik dalam politik dinasti akan melanggengkan “Pihak minoritas akan menguasai mayoritas”.

Sempat Diatur

Politik Dinasti, sempat diatur dalam pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada serentak yang menyatakan bahwa bakal calon yang masih mempunyai hubungan darah dengan petahana yang masih berada dalam satu provinsi, dilarang untuk mencalonkan diri, karena dikhawatirkan akan melanggengkan dinasti politik.

Namun, aturan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai menghalangi hak politik seseorang untuk memilih dan dipilih.

Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang.

Di sisi lain, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (3) UU HAM.(tribunnews/rio)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas