Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Menciderai Serentaknya Pilkada
Putusan PT TUN Jakarta dan Makassar yang mengakomodir kembali pasangan yang telah dinyatakan gugur sebelumnya berdampak pada penundaan pilkada.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta dan Makassar yang mengakomodir kembali pasangan yang telah dinyatakan gugur sebelumnya oleh KPU, berdampak pada penundaan pilkada di lima daerah yang bersengketa.
Putusan PT TUN tentang Pilkada di Provinsi Kalimantan Tengah yang memasukkan kembali pasangan Ujang-Jawawi untuk mengikuti tahapan pilkada, sedangkan penyelenggara pemilu sudah sepakat untuk membatalkan pasangan tersebut karena dinilai tidak memenuhi persyaratan.
Sama halnya dengan putusan pengadilan PT TUN Makassar yang mengakomodir kembali pasangan calon di Kabupaten Fak Fak Deodatus-Abdul pada tanggal 8 Desember 2015.
Sementara di Kota Manado, pasangan Jimmy Rimba Rogi-Bobby juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk kembali menjadi peserta pilkada setelah putusan “Maju-Mundur” penyelenggara pemilu baik di pusat dan di daerah.
Dua daerah lainnya, yaitu Kabupaten Simalungun dan Kota Pematangsiantar, hingga berita ini ditulis, belum ada putusan incracht dari PT TUN Medan.
Pada akhir Desember, pegiat pemilu dari Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai bahwa indikasi adanya ketidakpahaman antara KPU pusat dan KPU daerah ditengarai menjadi penyebab utama hadirnya putusan pengadilan. Serta adanya “gagap hukum” oleh lembaga ad hoc Panwaslu daerah.
"Jadi memang ada kesepahaman yang tidak sesuai antara penyelenggara di pusat dan daerah. Serta banyaknya lembaga pengadilan yang dapat memutus hal tersebut," ujar Titi di Jakarta, Minggu (20/12/2015).
Putusan pengadilan yang terkadang tidak sesuai dengan putusan KPU beserta dengan peraturannya juga disesalkan oleh Ketua KPU, Husni Kamil Manik yang menyatakan perlu ada kesepahaman antara penyelenggara dan juga pengadilan yang menangani sengketa pilkada terutama di pencalonan.
"Memang ada diskusi berkembang di pihak penyelenggara agar yang memberi putusan hanya satu pihak saja. Tidak terlalu banyak seperti ini," kata Husni.
Dualisme Partai
Putusan pengadilan yang berdampak pada ditundanya pilkada beberapa daerah, berawal pada adanya dualisme partai yang bersengketa di pengadilan, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar yang diketahui memiliki dua kepemimpinan pada awal Januari 2015.
Konflik dua partai tersebut terjadi pada saat Munas dan Muktamar yang diadakan dua kubu di tempat terpisah.
Keduanya sempat diragukan untuk mengikuti pilkada serentak karena pada pembuatan UU No 1 Tahun 2015 dan UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada Serentak, partai bersengketa tidak diatur di dalam pasal-pasal yang ada.
Namun, KPU melalui peraturan KPU (PKPU) No 9 dan kemudian direvisi melalui PKPU No 12 Tahun 2015 memberikan kesempatan dengan syarat.
Syarat yang tertulis dalam pasal 36, 37 dan 38 PKPU No 12 adalah adanya kesepakatan dari dua kubu kepemimpinan partai politik untuk memberikan rekomendasi terhadap pasangan calon yang kemudian diberikan “Cap Basah”. Artinya, ada surat asli pada saat melakukan pendaftaran.
Namun, tidak bisa dipungkiri, justru hal tersebut yang menjadi kendala di KPU untuk menetapkan pasangan calon tersebut memenuhi syarat atau tidak pada saat tanggal 24 Agustus 2015.
Setidaknya, 68 pasangan calon gugur karena dualisme partai tersebut. Sebagian kecil lainnya, mencoba menggugat putusan KPU tersebut hingga tahap PT TUN.
Sebut saja Pilkada di Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Fak Fak. Ketiganya memiliki masalah pada saat masa pencalonan yang tidak selesai karena saling klaim mendapatkan dukungan yang sah dari dua kubu partai politik yang bersengketa.
Paling menarik dari kasus dualisme partai tersebut berada di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Pasangan Harry Marbun – Momento Sihombing dan pasangan calon Pelbet Siboro-Henry Sihombing diusung oleh partai yang sama yaitu Golkar dan dapat mengikuti pilkada serentak pada 9 Desember lalu.
Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan antara putusan KPU Humbang Hasundutan, Panwaslu, dan PTUN.
Bebas Bersyarat
Calon Wali Kota Manado Jimmy Rimba Rogi dan Calon Wakil Bupati Simalungun, Amran Sinaga yang menjadi terpidana atas kasus korupsi--namun sedang menjalani masa bebas bersyarat--juga menjadi kendala atas ditundanya pilkada serentak di dua daerah tersebut.
Adanya perbedaan pandangan lagi-lagi menjadi masalah mendasar atas putusan tersebut.
Dalam UU No 8 Tahun 2015, tentang pilkada, sudah diputuskan oleh MK bahwa calon kepala daerah yang dapat mengikuti pilkada serentak hanya bisa diikuti oleh mantan narapidana. Sementara narapidana yang masih bebas bersyarat belum terhitung sebagai mantan narapidana.
Jimmy Rimba Rogi atau Imba saat ini masih menjadi tahanan bebas bersyarat yang akan selesai masa hukumannya pada pertengahan tahun 2016. Sementara Amran Sinaga, masih berstatus bebas bersyarat hingga 2017.
Sempat terjadi pro-kontra pada putusan MK tersebut. Pasalnya, tahanan bebas bersyarat dinilai masih dapat menjalani tugas sebagai kepala daerah meski tetap berada di wilayahnya sendiri, serta harus menghormati hak dipilih dan memilih setiap warga negara.
Sementara beberapa yang lain menilai bahwa tahanan bebas bersyarat tidak pantas menjadi kepala daerah karena masa tahanan belum selesai meski tidak berada di dalam lembaga pemasyarakatan.
Satu Pintu
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menyatakan bahwa sengketa pilkada hanya perlu dibawa sampai tingkatan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), tidak perlu sampai tingkatan Mahkamah Agung jika hanya permasalahan administrasi sengketa pencalonan.
"Pakai lembaga yang sudah ada saja. Tidak perlu buang anggaran membentuk lembaga baru yang justru akan menimbulkan masalah baru," jelas Titi ketika dihubungi.
Titi menjelaskan, jika sengketa berada di pemilihan kabupaten/kota, maka upaya hukum yang dilakukan berada di tataran Bawaslu Provinsi, kemudian Bawaslu RI dan Pengadilan Tinggi Usaha Negara.
Namun jika sengketa berawal dari pilkada Provinsi, pengajuan gugatan, dapat ke Bawaslu RI, PTUN dan berhenti di PT TUN.
Skema tersebut merupakan hal yang paling memungkinkan saat ini untuk diterapkan pada saat pilkada serentak periode berikutnya di 2017 agar dapat segera selesai dan tidak berlarut-larut seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
"Keputusan panwas beberapa kali mengalami perbedaan antara yang diinginkan oleh KPU dan kesesuaian dengan undang-undang. Apalagi mereka lembaga ad hoc yang seharusnya tidak boleh mengadili lembaga permanen," kata Titi.
"Intinya harus konsisten. Kalau sudah diberi tenggat waktu sekian hari, ya sudah selesaikan dengan waktu yang ada," lanjutnya.
Namun kata Titi hal tersebut tidak serta merta diterapkan begitu saja, jika pilkada diharapkan memenuhi kualitas yang baik.
Pembelajaran mengenai sengketa pilkada terhadap hakim di pengadilan PTUN dan PT TUN juga harus diberikan sejak awal sehingga tidak ada istilah 'gagap hukum'.