KALEIDOSKOP 2015: Setya Novanto dan Kegaduhan di DPR
Ekspresi politikus Golkar Setya Novanto tidak seperti biasanya saat mengikuti Rapat Paripurna DPR.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekspresi politikus Golkar Setya Novanto tidak seperti biasanya saat mengikuti Rapat Paripurna DPR.
Kamis 18 Desember 2015 Novanto terlihat lain. Dia tak bisa menahan rasa sedih saat menyatakan pengunduran diri sebagai Ketua DPR dihadapan peserta Rapat Paripurna. Kasus ‘Papa Minta Saham’ membuatnya terpaksa lengser dari jabatannya sebagai Ketua DPR yang diembannya selama satu tahun lebih.
Ia terlihat sempat terisak saat membacakan bagian akhir pidatonya. Matanya tampak merah dan berkaca-kaca. “Mudah-mudahan ini hanya terjadi pada saya, tidak terjadi pada anggota lainya,” kata Novanto sambil terisak.
“Sekali lagi apa yang saya lakukan akan saya pertanggungjawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia serta kepada Allah SWT,” tambah Novanto.
Kursi Ketua DPR pun kosong. Rapat Pimpinan DPR kemudian memilih Fadli Zon sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR. Partai Golkar tempat bernaung Setya Novanto juga bereaksi cepat. Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie bereaksi cepat. Ia menunjuk Ade Komaruddin sebagai pengganti Novanto. Sementara, Novanto mengisi posisi Ketua Fraksi Golkar. Lalu bagaimana kinerja DPR pada 2016 sepeninggal Novanto?
Pengamat Politik dari Founding Fathers House (FFH) Dian Permata menyoroti posisi Ketua DPR sepeninggal Novanto.
“Setya Novanto sudah lengser dari Ketua DPR. Penggantinya diharapkan memetik pelajaran dari Setya Novanto selama menjadi Ketua DPR,” kata Dian ketika dikonfirmasi Tribunnews.com. Dian mengingatkan posisi Ketua DPR merupakan jabatan politik yang memiliki daya magnet berita cukup luas. Segala tindak tanduk, prilaku, kebijakan, atau pernyataannya akan selalu menyedot perhatian media massa dan publik. Makanya tidak heran jabatan Ketua DPR kerap menjadi sorotan publik. “Dia juga harus mampu menjaga ritme komunikasi sesama anggota DPR. Menjadi jembatan diantara fraksi-fraksi. Menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan wilayah kerja DPR. Seperti pemerintah, masyarakat sipil atau lainnya,” kata Dian.
Tentu aja untuk melakukan tugas berat itu, kata Dian seorang Ketua DPR harus memiliki jam terbang soal komunikasi politik yang tinggi, cakrawala akan pengetahuan yang luas, serta tidak emosional. Citra DPR paska gaduh Freeport dan polemik Setya Novanto memang tidak terlalu baik. “Tantangan ini menjadi batu ujian bagi Ketua DPR dalam mengembalikan citra serta kepercayaan publik. Butuh kerja berat serta kerja cerdas untuk memulihkannya. Akbar Tandjung saat menjadi Ketua DPR boleh dijadikan protipe sederhana saat menjalankan jabatan tersebut,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPR Yanuar Prihatin memiliki pendapat lainnya. Ia melihat mundurnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR adalah momentum penting dan langka bagi perbaikan citra DPR ke depan.“Kasus ini setidaknya menyiratkan dua makna,” tutur Yanuar.
Pertama, kata Yanuar, kisah dibalik jatuhnya Setya Novanto merupakan preseden amat buruk yang makin memperkuat citra DPR sebagai lembaga pemburu rente, makelar proyek, kolusi bisnis dan tempat berkumpulnya para penghamba harta.
Ia mengingatkan Setya Novanto adalah Ketua DPR, maka wajar saja jika publik menilai jangan-jangan kelakuan anggota DPR yang lain juga sama dengan pimpinan DPR. “Ketua DPR yang setiap saat diawasi publik dan pers bisa seenaknya berbuat tercela sebagai makelar saham dan mega proyek, bagaimana dengan anggota DPR lainnya yang jauh dari sorotan pers, jangan-jangan mereka lebih ganas lagi. Penilaian publik semacam ini wajar saja, dan tidak bisa publik disalahkan,” katanya.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) itu menegaskan Ketua DPR merupakan simbol lembaga. Saat simbol ini ternoda otomatis lembaga DPR juga ikut tercoreng. Meskipun tidak semua anggota DPR berkelakuan sama dengan pimpinan DPR. Ia menilai banyak anggota DPR yang baik, ikhlas dan lurus, namun anggota semacam ini akhirnya ikut ternoda dalam sandera penilaian publik yang terus miring.
“Dalam sandera publik yang tidak menguntungkan citra DPR semacam itu, maka wajar jika yang disebut pergantian ketua DPR itu sesungguhnya juga harus meliputi pergantian wakil-wakil ketua DPR. Jika salah satu anggota tubuh itu sakit, maka anggota tubuh lainnya pasti merasakan sakit. Jika kaki tersandung batu saat berjalan kaki atau lari, maka suluruh anggota tubuh lainnya pasti ikut terjerembab saat terjatuh,” imbuhnya.
Makna kedua yakni sistem paket dalam pemilihan pimpinan DPR harus diluaskan pemahamannya. Sistem paket itu artinya pimpinan DPR dipilih secara kolektif kolegial, tidak dipilih secara sendiri-sendiri. Jika seseorang terpilih sebagai Ketua DPR berarti di dalamnya ikut serta beberapa wakil ketua secara otomatis.
“Logika ini mestinya berjalanan paralel pada saat salah satu pimpinan mundur atau jatuh, maka pimpinan yang lain semestinya mundur juga. Karena mereka naik sebagai pimpinan DPR tidak secara sendiri-sendiri tapi bersama-sama, maka wajar jika turun pun harus bersama-sama,” jelasnya.