KALEIDOSKOP 2015: Setya Novanto dan Kegaduhan di DPR
Ekspresi politikus Golkar Setya Novanto tidak seperti biasanya saat mengikuti Rapat Paripurna DPR.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
Yanuar menuturkan dalam sistem paket, kekompakan dan pertanggungjawaban kolektif adalah kata kunci penting yang seharusnya mengikat seluruh perilaku individu pimpinan DPR. Moral kelompok adalah nilai utama yang harus ditegakkan dalam sistem paket. Jika salah satu pimpinan itu berperilaku menyimpang, maka sama artinya pimpinan yang lain telah gagal membangun moral kelompok. “Mereka juga harus ikut bertanggungjawab atas kegagalan mengendalikan perilaku menyimpang dari sesama pimpinan DPR,” ujarnya.
Dalam pemahaman semacam itu, maka dapat dinilai wajar bila penggantian Ketua DPR semestinya diikuti pula oleh pergantian wakil-wakil Ketua DPR. Wakil-wakil Ketua DPR, menurut Yanuar, tidak bisa cuci tangan atas perilaku menyimpang dari Ketua DPR. Sebagai pimpinan, mereka itu satu paket, dipilih dan ditetapkan secara paket bersama-sama. “Mereka boleh tidak bertanggungjawab atas perilaku menyimpang dari salah satu pimpinan DPR jika mereka sebelumnya dipilih secara sendiri-sendiri, bukan dalam kesatuan paket pimpinan,” imbuhnya.
Namun, ia juga melihat penerapan roh sistem paket semacam itu terkendala oleh UU MD 3 sendiri (UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD) yang proses pemilihan dan pergantian pimpinan DPR dirancang tidak sinkron. Saat pemilihan menggunakan sistem paket, namun pada saat pergantian tidak berlaku sistem paket. Jika ingin menegakkan logika berpikir yang normal dan sehat, Yanuar menegaskan tidak ada pilihan lain UUD MD 3 harus direvisi. “Saat ini momentum terbaik untuk mengambil langkah cepat guna memulihkan citra DPR melalui proses baru pemilihan dan penetapan pimpinan DPR,” tuturnya.
Ada dua pilihan dari arah revisi UU MD3. Pertama, kembali ke sistem porporsional sebagaimana terjadi dalam periode DPR 2009-2014 di mana partai pemenang pemilu otomatis jadi Ketua DPR. Wakil-wakil ketua otomatis diisi oleh partai peraih suara terbanyak berikutnya. Pilihan ini mungkin kurang diminati oleh partai-partai kecil yang peluangnya menjadi tertutup untuk jadi pimpinan DPR. “Bisa dikatakan sistem proporsional agak sulit untuk dijadikan pilihan saat ini jika kuota pimpinan hanya 5 kursi,” kata yanuar.
Alternatif kedua, adalah tetap menggunakan sistem paket sebagaimana dilakukan pada pemilihan pimpinan untuk periode DPR saat ini. Hanya saja cara ini berpeluang menciptakan kegaduhan baru di DPR. Partai-partai yang sekarang memegang kursi pimpinan pastilah akan berusaha keras untuk mempertahankan diri. Namun pada sisi lain, partai-partai yang tidak mempunyai kursi pimpinan akan berjuang sekuat tenaga untuk merebut kursi pimpinan DPR. “Pada akhirnya akan terjadi kemelut baru, jika tidak terkendali bisa lebih parah dari kemelut sebelumnya. Dan jika ini terjadi maka makin rusaklah citra DPR di mata publik,” katanya.
Lantas bagaimana caranya, pimpinan DPR berganti tapi minim kegaduhan?
Menurut Yanuar, semua pihak harus keluar dari dua pilihan ekstrim itu, kita perlu terobosan baru. Norma baru harus ditetapkan, bahwa jabatan pimpinan DPR adalah hak setiap fraksi di DPR tanpa tergantung lagi pada perolehan kursi setiap partai. Jika di DPR itu ada 10 fraksi, maka kursi pimpinan DPR jumlahnya juga 10 terdiri dari 1 ketua dan 9 wakil ketua. Ini berarti setiap fraksi punya hak otomatis untuk menduduki jabatan pimpinan DPR. Setiap fraksi mengirimkan 1 orang wakilnya untuk duduk di kursi pimpinan DPR. “Jika ada salah satu pimpinan mundur, berhenti atau jatuh, maka ini urusan fraksi bersangkutan untuk menggantinya tanpa harus lagi menjadi urusan semua fraksi,” imbuhnya.
Untuk kondisi politik saat ini, Yanuar melihat cara demikian lebih membawa kebaikan. Pertama, konflik antar fraksi di DPR akan jauh berkurang. Konflik memang masih mungkin terjadi, namun sudah dieliminir hanya sebatas aturan main untuk memilih dan menetapkan ketua DPR. Dalam format pimpinan DPR semacam itu, maka ketua DPR bisa dipilih dan ditetapkan melalui dua alternatif cara, yaitu otomatis dipegang oleh partai pemenang pemilu atau dilakukan voting dipilih langsung oleh anggota DPR dalam Rapat Paripurna. Fraksi yang mempunyai hak mencalonkan Ketua DPR dibatasi hanya dua partai saja yang urutan kursinya terbanyak. “Ini sikap gentleman untuk mengakui dan menghormati prestasi dua partai terbesar dalam pemilu,” katanya.
“Jumlah pimpinan DPR sebanyak 10 orang bukan dipahami dalam semangat bagi-bagi jabatan, tapi lebih ditekankan pada pengkondisian agar pimpinan DPR bisa berbagi tugas dalam sektor-sektor yang lebih terbatas, fokus dan detail,” katanya.
Wacana kocok ulang itu tidak disetujui Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto. Ia menyatakan pihaknya tidak menginginkan kegaduhan.“Kalau PAN biar enggak gaduh ribut serahkan ke Golkar,” katanya.
Ia mengatakan wacana kocok ulang berpotensi menimbulkan kehaduhan yang tak kunjung selesai. Bahkan publik akan menilai DPR hanya meributkan persoalan Ketua DPR. “Jadi kalau Pak Nov dari Golkar ya diserahkan kepada Golkar. Jadi Ade Komaruddin tepat lah,” kata Yandri.
Anggota Komisi II DPR itupin optimis kinerja legislasi DPR akan membaik pascalengsernya Setya Novanto dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Pasalnya, bila kinerja rendah seperti 2015, maka DPR akan terus terpuruk.“Ketua DPR baru, momentum tahun baru, saya yakin betul 2016, dijadikan kilas balik lebih ya lebih berprestasi, jangan diributin reses enggak jelas. Optimis kalau enggak tambah terpuruk. Ade Komaruddin sebagai Ketua DPR harus menepati janjinya,” tuturnya.
Pengamat Politik Paramadina Hendri Satrio memiliki pendapat mengenai kinerja DPR paska Novanto mundur. Ia menilai publik tidak dapat berharap banyak dalam komunikasi politik antara pemerintah dengan parlemen.Walaupun wajib hukumnya rakyat menjaga harapan.
“Bagaimana tidak di penghujung tahun Pansus DPR untuk kasus Pelindo 2 langsung bersuara lantang meminta Presiden mengganti menteri BUMN, Rini Soemarno. Kendati nama Rini sudah sering dilambungkan oleh berbagai lembaga survei sebagai menteri yang layak di evaluasi Presiden bersama nama lain seperti Jonan, Sudirman, Yudy, Amran, Puspayoga, Saleh, Imam dan nama lainnya, tetap saja rekomendasi ini membuat telinga pemerintah panas,” kata Hendri.
Belum reda tudingan ini, kata Hendri, muncul lagi suara pribadi dari anggota DPR fraksi PDIP yang meminta Wapres JK mundur dari jabatannya.Saat era Setya Novanto menjadi ketua DPR, suka atau tidak suka, kata Hendri, politikus golkar itu mampu membuat hubungan antara legislatif dan eksekutif cair dan cukup harmonis. Salah satu contohnya adalah tidak ada tantangan yang berarti saat dewan menyetujui APBN 2015 dan 2016.