Tahun 2016, Kejaksaan Agung Diprediksi Belum Mampu Ikuti Cara Kerja KPK
"Kejaksaan Agung masih belum bisa mengikuti cara kerja KPK," kata Kamilov.
Penulis: Valdy Arief
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada akhir tahun 2015, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mencoba melakukan langkah baru dalam penindakan tindak pidana korupsi dengan memulai penyelidikan dugaan permufakatan jahat skandal 'Papa Minta Saham'.
Langkah Kejaksaan dalam kasus tersebut yang lebih cepat ketimbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga anti-rasuah tersebut, berdasarkan visi misi komisioner terpilih, mulai mengarah pada fungsi pencegahan ketimbang penindakan, namun hal itu diprediksi Pengamat Kejaksaan Kamilov Sagala tidak membuat lembaga pimpinan Muhammad Prasetyo menjadi pemimpin penumpasan koruptor pada 2016.
"Kejaksaan Agung masih belum bisa mengikuti cara kerja KPK," kata Kamilov Sagala kepada Tribunnews.com, Minggu (3/1/2016).
Ada beberapa hal, menurut Kamilov, yang membuat Kejaksaan masih belum dapat menjadi penggerak utama dalam menangkap koruptor.
Mantan Komisioner Komisi Kejaksaan ini melihat sumber daya manusia pada Korps Adhyaksa masih belum memadai. Terutama dalam bidang pemberantasan korupsi. Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, dinilai belum menunjukan prestasi.
Seringnya Jaksa Agung menyalahkan praperadilan sebagai penghambat penindakan koruptor, dipandang Kamilov menguatkan opini bahwa sumber daya manusia jaksa belum memadai.
"Praperadilan itu tantangan keilmuan. Kalau jaksanya mampu itu bisa terpatahkan," kata Kamilov.
Banyaknya jumlah kasus yang mangkrak di Kejaksaan juga menunjukan ketidaksiapan untuk menguji di pengadilan. Dia mencontohkan ada beberapa tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi yang telah mendapatkan status tersangka lebih dari 10 tahun, namun status hukum itu tidak meningkat karena perkaranya tidak kunjung dibawa ke pengadilan.
"Di mata jaksa kalau perkara diterbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyelidikan) adalah kebodohan," katanya.
Hal tersebut, menurut Kamilov, yang membuat banyak kasus mangkrak di Kejaksaan.
Selain itu, Kamilov menyoroti integritas jaksa. Terutama pada jaksa yang bertugas di daerah yang jauh dari ibukota. Komisioner Komisi Kejaksaan jilid 2 ini mengaku masih mendapat laporan banyak jaksa yang melakukan pemerasan.
Berbeda dengan Kamilov, Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter berpendapat kepemimpinan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang menyebabkan Kejaksaan tidak bisa mengimbangi KPK dalam memberantas koruptor pada 2016.
"Selama setahun (2015), Prasetyo tidak perform, sepatutnya ganti dulu Jaksa Agungnya. Kerja Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan," kata Lalola Easter kepada Tribunnews, Sabtu (2/1/2016).
Aktivis ICW yang akrab disapa Lola mencontohkan Satgasus. Dia menyebutkan pada awal pembentukannya, Satgasus digadang untuk menyelesaikan kasus korupsi besar. Namun belum berhasil mengungkap banyak perkara.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Andi Hamzah berpendapat kinerja Korps Adhyaksa dalam membasmi koruptor masih tebang pilih.
"Yang kecil-kecil dituntut, yang besar-besar diabaikan. Itu telah terjadi ketidakadilan," kata Andi Hamzah saat dihubungi, Minggu (3/1/2016).
Menanggapi tuntutan publik yang semakin kencang, khususnya pada pemberantasan korupsi, Kejaksaan Agung seolah menjawab. Melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus(Jampidsus), Kejaksaan berkomitmen menuntaskan seluruh tunggakan kasus korupsi pada masa sebelumnya.
"Kami akan nihilkan tunggakan perkara khususnya penyelidikan dan penyidikan," kata Jampidsus Arminsyah saat acara refleksi akhir tahun Kejaksaan Agung, Rabu (30/12/2015).