Tiga Mahasiswi Unpar Tak Gentar Hadapi Badai Taklukan Gunung Aconcagua
Rencana Tim WISSEMU untuk mencapai puncak Gunung Aconcagua pada tanggal 27 Januari 2016 menemukan halangan.
Penulis: Dahlan Dahi
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Tim WISSEMU untuk mencapai puncak Gunung Aconcagua pada tanggal 27 Januari 2016 menemukan halangan.
Hujan badai dan badai salju yang mengguyur base camp Plaza De Mulas malam hari 23 Januari 2016 membuat daerah ini tertutup salju.
Pendakian Minggu 24 Januari 2016 pun ditutup sepenuhnya.
Rekan-rekan tim pendaki lain yang berada di camp 1, Plaza Canada yang berada (4.900 mdpl), camp 2 Nido De Condores (5.400 mdpl), dan camp 3 Colera (6.000 mdpl) pun ditarik mundur.
Suasa base camp Plaza De Mulas (4.400 mdpl) yang di terjang salju.
Dengan ini Tim WISSEMU menata ulang rencana pendakian lantaran pendakian di Aconcagua belum dapat ditentukan kapan akan dibuka kembali.
Jika cuaca segara membaik dan jalur pendakian dibuka kembali pada 26 sampai 28 Januari 2016 maka tim dapat mencapai puncak pada tanggal 30 Januari 2016.
"Berdasar laporan terakhir yang diterima tim Bandung pukul 20.56 WIB walau cuaca kurang mendukung namun cenderung terus membaik dan ketiga anggota tim sehat dan bugar," kata tim publikasi The Women of Indonesia's Seven Summit Expedition Mahitala Unpar, Alfons Yoshio dalam keterangannya yang diterima tribunnews.com, Senin (25/1/2016)
Plaza De Mulas (4.250 mdpl) adalah base camp pendakian dari jalur normal.
Karena gangguan cuaca tim WISSEMU telah empat hari tinggal di camp ini bertambah satu hari dari perencanaan.
Selama tiga hari kemarin tim bertemu dengan banyak rekan pendaki dari berbagai penjuru dunia.
Salah satunya tim bertemu dengan Fernanda Maciel seorang atlit trail run yang mengejar rekor di Gunung Aconcagua.
Gunung Aconcagua yang terletak di jajaran Pegunungan Andes ini memang terkenal memiliki cuaca dingin yang ekstrim ditambah badai angin yang sangat berbahaya dan dikenal dengan sebutan el viento blanco.
Angin kencang yang kabarnya dapat mencapai 90 km/jam bertiup bersamaan dengan kabut yang ditambah dengan hujan salju merupakan gambaran sederhana dari badai berbahaya ini.
Menurut beberapa pemberitaan media, el viento blanco ini juga yang diduga menjadi penyebab meninggalnya salah satu pendaki berpengalaman dari Indonesia yaitu (Alm) Norman Edwin dan rekannya (Alm) Didiek Samsu (tahun 1992) pada saat melakukan ekspedisi seven summits kala itu.