Penjelasan MK Mengenai Polemik Selisih Suara
MK mempunyai alasan tersendiri berdasarkan penafsirannya sendiri terhadap turunan dari pasal 158 UU No 8 Tahun 2015.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono angkat bicara mengenai perselisihan suara yang selama persidangan dipermasalahkan baik oleh pihak pemohon, bahkan oleh pakar dan partai politik.
Menurut Fajar, MK mempunyai alasan tersendiri berdasarkan penafsirannya sendiri terhadap turunan dari pasal 158 UU No 8 Tahun 2015 tentang selisih suara yang masuk ke MK.
"Pakar punya tafsir sendiri. Pengamat juga punya tafsir sendiri. Kami juga demikian, jadi semua sah-sah saja, toh sudah diumumkan bahwa pasal 158 adalah open legal policy," ujarnya di Gedung MK, Jakarta, Selasa (26/1/2016)
Fajar menjelaskan bahwa pihaknya juga telah berdiskusi dengan beberapa pakar dan KPU mengenai hal tersebut, sehingga tidak keraguan dalam menerapkan pasal 158 dalam persidangan perselisihan hasil pemilihan (PHP).
Dia juga menjelaskan bahwa selisih suara hanya perlu dihitung dari jumlah suara terbanyak yang didapatkan oleh peserta pilkada.
Bukan dari keseluruhan suara sah yang dihitung oleh setiap KPU di daerah.
"Kan yang dihitung siapa? Kalau si A dapat suara 10 dan si B mendapat suara 5, maka selisih suara 50 persen. Jadi bukan 5 dibagi 15 suara keseluruhan. Hanya dua yang bersengketa saja pemohon dengan terkait, tidak perlu semua dihitung," jelasnya.
Apalagi, MK bukan lembaga seperti KPU yang harus berkonsultasi dulu dengan DPR untuk menyusun Peraturan KPU (PKPU).
Sementara MK dapat menentukan peraturannya sendiri tanpa berkonsultasi dengan siapapun.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.