Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ngeri! Modus Jahat Sindikat Ginjal dari Bohongi Korban hingga Palsukan Usia

Sindikat menggunakan berbagai cara untuk merekrut pendonor ginjal, ada yang dengan aksi tipu-tipu hingga memalsukan usia.

Editor: Robertus Rimawan
zoom-in Ngeri! Modus Jahat Sindikat Ginjal dari Bohongi Korban hingga Palsukan Usia
TRIBUN JABAR/TEUKU MUH GUCI S
Edi Midun (39) menunjukan bekas operasi pengambilan ginjal miliknya di kediamannya di Kampung Pangkalan, Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (29/1/2016). 

TRIBUNNEWS.COM - Sindikat menggunakan berbagai cara untuk merekrut pendonor ginjal, ada yang dengan aksi tipu-tipu, ada juga dengan kesaksian dari pendonor hingga memalsukan usia pendonor.

Aksi-aksi ini dilakukan lantaran para broker mendapatkan keuntungan yang menggiurkan.

Setelah polisi menguak sindikat ini beberapa kampung di wilayah Jawa Barat menjadi sorotan karena banyak warganya yang menjual ginjal demi motif ekonomi.

Dua tersangka sindikat penjualan ginjal yang kini ditahan Bareskrim yakni AG dan DD mengisahkan awal mula mereka menjadi korban hingga terlibat menjadi sindikat.

Menurut penuturan dari Osner Johnson Sianipar‎, kuasa hukum keduanya, awalnya mereka nekat menjual ginjalnya pada tersangka HR karena terdesak kebutuhan ekonomi dan tidak memiliki pekerjaan.

Kala itu, AG dan DD menjual ginjalnya seharga Rp 90 juta. Lalu karena tergiur dengan persenan dari HR, akhirnya AG dan DD menjadi tangan kanan HR yang bertugas menjadi perantara dan merekrut korban-korban.

"Awalnya AG dan DD ini korban, tapi lama-lama malah gabung dengan HR mencarikan orang untuk mendonorkan ginjal."

Berita Rekomendasi

"Yah mereka tertarik dengan keuntungannya. Selama ini keuntungannya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka," beber Osner saat dihubungi Tribunnews.com kemarin.

Ditanya soal bagaimana ‎cara AG dan DD mencari korban, diungkapkan Osner mereka mencari korban ke pelosok-pelosok kampung di wilayah Jawa Barat seperti Soreang, Majalengka, dan lainnya. Bahkan di kampung keduanya pun, ada beberapa warga yang sudah menjual ginjal mereka pada HR melalui AG dan DD.

"Jadi AG dan DD ini datang ke Kampung-kampung mereka cerita dari mulut ke mulut meyakinkan warga untuk menjual ginjal mereka. Hidup dengan satu ginjal tidak masalah, buktinya AG dan DD yang jual ginjal juga sehat-sehat saja. Tapi memang hanya pas kerja berat sedikit kelelahan tapi tidak sampai ambruk," tuturnya.

Osner menambahkan AG dan DD mencari warga di kampung yang memang miskin dan hidup susah sehingga mereka gampang terbujuk rayu karena iming-iming ginjal mereka akan dibayar hingga puluhan juta.

"Ini sudah seperti bisnis marketing, awalnya HR menawarkan ke AG, AG mau lalu melebar dan merembet ke DD," tegasnya.


Palsukan umur

AG yang awalnya korban kini menjadi broker juga melakukan berbagai upaya agar donor yang ia carikan berhasil lolos uji kesehatan.

Satu di antaranya Edi Midun (39), warga Kampung Pangkalan, Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Edi harus menempuh serangkaian uji kesehatan dan cek darah.

Edi pun dinyatakan sehat setelah mengikuti pengecekan.

AG memalsukan usianya agar harga ginjalnya memiliki harga yang tinggi.

Mengingat Edi sudah berusia di atas 35 tahun ketika merelakan ginjalnya pada Oktober 2014.

Selain itu, Edi pun diminta berpenampilan layaknya anak muda. Rambutnya dipotong, kumisnya dicukur, dan menggunakan pakaian yang kerap dipakai anak muda.

Ia pun diminta berkelit ketika dokter meragukan usianya.

"Saya jawab saja, kalau dari kampung memang terlihat lebih tua karena kerja di sawah," kata Edi di kediamannya, Jumat (29/1/2016).

Edi menerima Rp 70 juta setelah menjual ginjalnya.

Ia menjual ginjalnya lantaran dipicu persoalan ekonomi.

Ia memiliki utang sebesar Rp 35 juta sehingga harus menjual ginjalnya.

Adapun ia menjual ginjal melalui AG yang merupakan jaringan penjualan ginjal yang kasusnya ditangani Bareskrim Mabes Polri.

Broker jahat luar negeri

Bukan hanya di Indonesia, aksi broker jahat juga dilakukan di luar negeri.

Seperti dikutip dari Tribunnews Bogor yang melansir liputan di Odditycentral.com, ada desa dengan nama Kidney Valley, hampir seluruh penduduknya telah menjual satu ginjalnya.

Broker organ manusia secara teratur mengunjungi desa dan meyakinkan penduduk yang miskin untuk menjual salah satu ginjalnya.

Para broker itu, menggunakan pelbagai cara untuk meyakinkan mereka supaya mau pergi ke India melakukan operasi pengambilan ginjal.

Para broker itu mengatakan kepada para penduduk bahwa manusia hanya butuh satu ginjal untuk bertahan hidup.

Tak berhenti sampai situ, para broker jahat itu juga berbohong dengan mengatakan bahwa ginjal akan tumbuh kembali setelah beberapa saat.

Untuk setiap ginjal, para broker itu biasa menebusnya seharga 2.00 dolar (sekitar Rp28,6 juta).

“Selama 10 tahun orang datang ke desa kami mencoba meyakinkan kami untuk menjual ginjal kami, tapi saya selalu bilang tidak,” kata Geetha.

Tapi seiring bertambahnya keluarganya, Geetha terdesak keinginan menyediakan rumah lebih layak.

“Saya selalu ingin rumah saya sendiri dan sebidang tanah, dan dengan anak-anak lagi, saya benar-benar membutuhkannya,” ujar Geetha.

Dia pun akhirnya pergi bersama kakak iparnya yang seorang broker, ke India, untuk menjalani operasi.

Sayangnya, rumah Gethaa—yang ia bayar menggunakan hasil menjual salah satu ginjalnya—hancur dilanda gempa yang mengguncang Nepal pada akhir April tahun lalu.

Bencana itu sukses membuat sebagian besar penduduk desa menjadi tunawisma.

Banyak di antara mereka beralih ke alkohol, mabuk-mabukan untuk memendam kepedihan mereka.

Dalam kondisi seperti ini, perdagangan ginjal malah semakin marak.

Meski ilegal, diperkirakan ada 10 ribu operasi gelap dengan 7.000 ginjal dijual tiap tahun.

Tidak semua pedagang ginjal bersikap baik menunggu persetujuan penduduk untuk menjual ginjalnya.

Kadang-kadang korban diculik dan dipaksa untuk menjalani operasi.

Atau, mereka dipaksa untuk percaya bahwa mereka sedang membutuhkan jenis operasi lain, dan ginjal akan dipotong tanpa sepengetahuan mereka.

Beberapa korban bahkan dibunuh agar dua ginjal mereka bisa diambil para penjahat.

Tahun lalu, TIME menulis cerita tentang Kenam Tamang yang ditipu oleh menantunya sendiri.

Dia menjanjikan Tamang pekerjaan yang lebih baik di Chenai, India, tapi begitu mereka sampai di sana, ternyata itu adalah tipuan semata.

“Saya diantar ke rumah sakit, di mana saya diberi tahu bahwa mereka akan mengambil ginjal saya,” ujar Tamang.

“Dia bilang saya akan mendapatkan jumlah uang yang baik untuk ginjal saya, dan tidak akan berpengaruh terhadap kesehatan saya. Dia bahkan bilang bahwa ginjal saya akan tumbuh lagi.”

Cerita mirip juga dialami oleh Bahadur Damai.

Dia juga melakukan perjalanan ke India untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.

Alih-alih pekerjaan, Damai dipaksa menenggak minuman hingga mabuk.

“Ketika saya terbangun, saya sudah berada di sebuah tempat tidur di rumah sakit. Mereka telah mengambil ginjal saya,” cerita Damai.

Tiga bulan kemudian, dia diberi uang ganti 150 dolar.

Dengan uang itu, ia membeli sebidang tanah yang jauh dari kata luas.

Laxman Lamichhane, pengacara dan koordinator program di Forum for Protection of People’s Rights Nepal (PPR Nepal), mengatakan bahwa orang-orang merasa tidak aman dan ketakutan di tempat tinggal mereka sekarang, meskipun ada pasukan keamanan yang memantau.

“Mereka harus menghadapi begitu banyak wajah-wajah baru dalam kehidupan mereka,” kata Lamichhane.

Orang-orang asing itu telah diidentifikasi sebagai pelaku perdagangan manusia yang sengaja mencoba untuk memikat warga agar mau bekerja ke luar negeri, seperti India.

“Ketika kembali ke desa, orang-orang itu ternyata sudah tertipu. Mereka tidak dipaksa untuk menjual ginjal mereka,” tambah Krishna Pyari Nakarmi, pengacara lain di PPR Nepal.

Ironisnya, orang-orang tertipu ini tidak mendapat dukungan dan justru menjadi bahan omongan warga setempat.

Mereka dikucilkan di komunitasnya sendiri.

“Bahkan anak-anak mereka didiskriminasi di sekolah. Ini membuat mereka frustasi dan depresi dan akhirnya lari ke minuman,” tambah Nakarmi. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas