Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Penguatan Polri Untuk Penanggulangan Terorisme dan Pencegahan Deradikalisasi

Revisi KUHP dan UU ini semakin penting semakin mendesak

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Penguatan Polri Untuk Penanggulangan Terorisme dan Pencegahan Deradikalisasi
Wahyu Aji/Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wacana Revisi UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terus digulirkan pemerintah.

Hal tersebut dinilai mendesak lantaran untuk mengantisipasi munculnya organisasi-organisasi radikal sebagai cikal bakal aksi teroris.

"Revisi KUHP dan UU ini semakin penting semakin mendesak untuk disempurnakan karena belum mampu merespon terhadap perkembangan-perkembangan munculnya kelompok teroris di Indonesia," kata Presiden Leksma Jayabaya Salim Mujahid Nusantara dalam dialog kebangsaan "Revisi KUHP Dan KUHAP Untuk Memperkuat Tugas Polri Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Terorisme" di Jakarta, Kamis (4/2/2016).

Menurutnya, dalam penanganan dan pencegahan terorisme tidak hanya diperlukan faktor yuridis, melainkan juga faktor sosiologis.

Faktor inilah yang dicermati Presma Jayabaya belum ada sehingga upaya pencegahan menjadi tak maksimal.

"Ini yang tidak diantisipasi oleh KUHP, KUHAP maupun UU Terorisme. Karena itu, faktor sosiologis inilah yang harus menjadi pertimbangan berikutnya kalau kita melakukan revisi, agar tidak hanya dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penindakan tetapi sekaligus penangkalan terhadap munculnya organisasi teroris di Indonesia," katanya.

Lebih lanjut dirinya menjelaskan, beberapa hal yang perlu difokuskan terkait revisi UU 15/2003, yang pertama, untuk penguatan Polri.

Berita Rekomendasi

Terkait ini tidak hanya soal penanggulangan terorisme namun juga dalam hal pencegahan dan deradikalisasi.

Kedua, perlunya penambahan bab dan pencegahan dengan menjadikan UU Antiterorisme sebagai lex specialis di dalam KUHAP dan KUHP.

Ketiga, perlu perluasan kategori tindak pidana terorisme seperti doktrin radikal, cuci otak, baiat terhadap organisasi teroris, ceramah provokatif, pelatihan kemampuan layaknya militer untuk dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme.

Keempat, perlunya penguatan di dalam hukum acara, seperti dalam hal penangkapan terduga teroris yang sebelumnya hanya bisa dilakukan 7x24 jam menjadi 30X24 jam.

Di samping itu menyangkut masa waktu penahanan dari semula 180 hari menjadi 240 hari. Dan terakhir, menurut dia, dalam persidangan terhadap saksi dapat dilakukan melalui telekonferensi untuk mencegah ancaman.

"Seringkali saksi tak mau bersaksi karena takut akan ancaman," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas