Tanpa Etika Penyelenggara Pemilu, Demokrasi di Indonesia Bisa Rusak
Pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah dituntut untuk menjaga etika dengan menjaga independensinya dan bebas dari kepentingan politik.
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) baik ditingkat pusat maupun daerah dituntut untuk menjaga etika dengan menjaga independensinya dan bebas dari kepentingan politik.
Bukan hanya penyelenggara pemilunya saja melainkan juga keluarganya yang harus ikut menjaga etika dan independensinya.
Hal ini disampaikan oleh Pakar kebijakan public, Gautama Adi Kusuma, dalam menanggapi maraknya penyelenggara dan keluarga dari penyelenggara pemilu di Indonesia yang kerap masuk ke dalam ranah politik praktis di saat pemilu berlangsung.
"Etika pertama yang harus dijaga dari orang perorang pimpinan penyelenggara Pemilu baik itu Pilpres ataupun Pilkada adalah bersih dari niat masuk ke dalam politik praktis dan mencari keuntungan atas politik praktis,” kata Gautama dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/2/2016).
Pria lulusan Virginia Tech University itu menuturkan, penguatan etika dan independensi itu akan mendorong penyelenggaraan Pemilu baik itu Pilpres atau Pilkada menghindari sebuah industri politik yang dipenuhi oleh para pemain-pemain di internal KPU dan membuat para mafia politik menguasai kondisi perpolitikkan di Indonesia.
Di Amerika Serikat Negara yang sudah matang tingkat demokasinya, lanjut Gautama, hal yang paling sakral dipegang adalah soal etika. Komisi Pemilu Umum Amerika Serikat, yang disana disebut FEC (Federal Election Commision), amat tegas memegang etika.
"Seperti tidak boleh pimpinan penyelenggara Pemilu bertemu dengan pihak pihak yang sedang bertarung dan mengambil keuntungan darinya, atau isteri atau suami dari penyelenggara Pemilu hadir dalam kegiatan kampanye dan menyatakan dukungan politik kepada kandidat tertentu," ujarnya.
Ia menjelaskan, di Indonesia amat brutal dalam soal fatsoen atau etika politik. Ia mencontohkan seperti kejadian baru-baru ini di Kalimantan Tengah, ada gugatan PDIP yang menyatakan bahwa isteri dari Ketua KPUD yang menurut laporan PDIP ikut dalam kampanye salah satu kandidat dan diindikasi sebagai tim sukses.
"Bila itu terjadi, dan bukti dari PDIP benar, ini harus jadi catatan tersendiri, seperti adanya Pilkada ulang dan harus benar benar dilakukan oleh penyelenggara Pemilu yang dijamin kenetralannya," imbuhnya.
Karena bila tidak, maka preseden ini bisa jadi sumber niatan buruk para pelaku politik untuk menjadikan KPU sebagai alat intervensi baik itu politik uang ataupun iming iming ikut masuk dalam kekuasaan.
"Maka dalam hal ini DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) harus tegas dalam mengambil keputusan dan juga berhati-hati, bila indikasi permainan penyelenggaraan Pemilu, maka KPU akan jadi sasaran utama permainan politik dan ini amat bahaya dalam perkembangan demokrasi di Indonesia," tandasnya.