Dihadapan SBY, Mahasiswa Sampai Dokter Tolak Revisi
Dari berbagai macam profesi, mereka diundang untuk menyampaikan pendapatnya.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengguna internet juga media sosial atau yang akrab disebut netizen berkumpul dalam diskusi berjudul 'Perlukah Revisi Undang-Undang KPK' yang digelar oleh DPP Partai Demokrat di Raffles Hills, Cibubur, Sabtu (20/2/2016).
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan yang menjadi moderator menjelaskan, dari 28 netizen yang diundang hanya 26 yang hadir.
Dari berbagai macam profesi, mereka diundang untuk menyampaikan pendapatnya.
Hadir dalam acara ini Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono didampingi istrinya, Ani Yudhoyono.
Keduanya sibuk mencatat pandangan satu persatu netizen.
"Apabila saya boleh berpendapat saya berharap pemberantasan korupsi difokuskan pada KPK saja," kata Siti Khadijah mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor.
Dari beberapa artikel berita yang pernah dibaca, Siti menjelaskan, ada seorang yang sejatinya tidak bersalah, namun ditetapkan menjadi tersangka tindakan korupsi.
"Padahal lembaga hukum lain menyatakan orang tersebut ngga boleh dijadikan tersangka. Adanya perbedaan padangan lembaga hukum ini yang mempengaruhi jadi tidak efektif dan cenderung ada kepentingan pribadi," kata wanita asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat tersebut.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh sebagian besar netizen saat memberi masukan.
Mayoritas menolak empat poin rencana perubahan UU 30 Tahun 2002 Tentang KPK.
Poin yang paling banyak ditolak antara lain soal pembentukan dewan pengawas KPK yang dipilih langsung oleh Presiden Jokowi.
Netizen menilai, peranan dewan pengawas bisa tumpang tindih dengan peran penasehat kode etik dalam lembaga antirasuah tersebut.
Ayu seorang dokter yang tinggal di Jakarta menilai, jika anggota dewan pengawas dipilih oleh presiden bisa adanya kebocoran informasi penyelidikan.
Menurut netizen, mengapa KPK tidak membentuk SOP yang terbuka dan akuntabel agar dapat diawasi oleh rakyat.
"Pembentukan dewan pengawas yang dibentuk presiden itu akan mempersempit ruang gerak KPK. Bagaimana kalau yang mau diawasi itu anggota dewan pengawas atau memiliki jabatan lebih tinggi?" katanya.
Kopi darat dengan netizen yang terpilih ini dijadikan SBY sempat bertanya mengenai sikap netizen melalui akun facebook dan twitternya.
Dalam waktu 26 jam, kata SBY, netizen yang memberikan retweet dan komentar twitter mencapai 6.647 akun.
Dari jumlah itu, 70 persen netizen menolak revisi UU KPK, 12 persen menyatakan setuju, dan 18 persen sisanya menjawab lain-lain.
"Suara rakyat seperti ini penting bagi saya dan juga Partai Demokrat, karena ternyata makin memperkuat sikap dan pandangan kami," kata SBY melalui akun twitter @SBYudhoyono, Kamis (18/2/2016).
Tak lupa Presiden keenam RI ini mengucapkan terima kasih kepada netizen yang telah memberi pendapat mengenai revisi UU KPK langsung melalui akun media sosialnya.
"Suara rakyat penting didengar siapapun, termasuk DPR dan pemerintah," kata dia.
Fraksi Demokrat di DPR sebelumnya sempat menyetujui revisi UU KPK dalam rapat Badan Legislasi DPR dengan agenda penyampaian pandangan minifraksi, Rabu (10/2/2016).
Namun sehari setelahnya, Demokrat balik badan dan menyatakan menolak revisi tersebut.
Selain Demokrat, fraksi yang menolak revisi UU KPK, yakni Fraksi Partai Gerindra dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Rapat paripurna pengambilan keputusan dilanjutkan atau tidaknya pembahasan revisi UU KPK sedianya digelar hari ini.
Namun, rapat paripurna itu ditunda hingga Selasa (23/2/2016).
Setidaknya ada empat poin yang ingin dibahas dalam revisi, yakni pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas, kewenangan KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta kewenangan rekrutmen penyelidik dan penyidik.