Direktur ILRINS: Delik Pidana Kasus Menara BCA Bisa Diungkap dari Nilai Investasi di Kontrak
Jeppri berpendapat, KPK bisa secara cepat menelusuri semua kejanggalan-kejanggalan baik itu dalam perjanjian maupun dalam pelaksanaan BOT
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Law Reform Institute (ILRINS), Jeppri F Silalahi menilai, sebaiknya KPK mengambil alih kasus perkara dugaan korupsi pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski.
Diketahui, perkara ini tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Hingga kini, sudah lebih dari 10 orang dari kedua pihak yang dipanggil Kejagung untuk dimintai keterangan.
Meski sudah masuk dalam tahap penyidikan, Kejagung belum juga menentukan tersangka dalam perkara tersebut.
Jeppri berpendapat, KPK bisa secara cepat menelusuri semua kejanggalan-kejanggalan baik itu dalam perjanjian maupun dalam pelaksanaan built, operate, and transfer (BOT) antara PT Hotel Indonesia Natour (Persero), PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI), dan PT Grand Indonesia (GI).
Ia menganalisis, dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara bisa dilihat dari total investasi yang tercantum dalam perjanjian.
"Periksa saja total investasi yang tercantum dalam perjanjian apakah sama dengan nilai seluruh bangunan yang disepakati dalam perjanjian? Jika ada kelebihan yang cukup signifikan itu dapat menjadi bukti," kata Jeppri saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (8/3/2016).
Di sisi lain, kata Jeppri, tidak dicantumkannya kedua gedung tersebut dalam perjanjian menyebabkan kedua bangunan tersebut tidak masuk dalam hitungan kompensasi saat perpanjangan kontrak dijalankan.
"Kemudian perhitungan NJOP-nya bukan perhitungan NJOP tahun berakhirnya kontrak awal. Ada selisih kompensasi yang sangat jauh yang seharusnya didapatkan PT HIN," katanya.
Jeppri menilai, kasus ini sebaiknya tidak hanya dilihat semata dari PT HIN yang mendapatkan kompensasi uang dan bangunan, lantas disebut untung.
"Karena sistem BOT itu pasti mendapatkan kompensasi. Mendapatkan kompensasi yang tidak proporsional itu merupakan kerugian yang harus dipermasalahkan karena merugikan PT HIN sama saja dengan merugikan negara," paparnya.
Soal frasa pembangunan Menara BCA dan Menara Kempinski yangtermasuk dalam kategori bangunan-bangunan lainnya dalam perjanjian, Jappri menilai itu cuma tafsir dan sangat bisa diperdebatkan.
Pasalnya, kata dia, jika dalam planing BOT itu dicantumkan tentang pembangunan Apartemen kempinski dan menara BCA tentu skema kompensasi yang diminta oleh PT HIN pasti akan berbeda.
"Tidak mungkin bangunan yang sangat komersil dan menguntungkan dimaksud didefinisikan sama dengan bangunan-bangunan lainnya dalam perjanjian. Perjanjian BOT benar merupakan domain perdata jika dilihat dari aspek legal formal perjanjian. Tetapi membangun dua bangunan yang tidak ada dalam perjanjian merupakan tindak pidana korupsi di mana ada unsur yang langsung maupun tidak langsung merugikan negara dalam konteks delik formil," katanya.
Dilansir Kontan, awal mula perkara ini adalah adanya pembangunan dua tower yaitu Menara BCA dan Apartemen Kempinski di luar perjanjian.
Dalam kontrak BOT yang ditandatangani 13 Mei 2004 lalu, hanya ada empat bangunan yang dibangun di atas tanah negara yang diterbitkan atas nama PT Grand Indonesia yaitu Hotel bintang lima, dua pusat perbelanjaan, dan fasilitas parkir.
Selain itu, ada permasalahan perpanjangan kontrak kerjasama. Awalnya, kontrak kerjasama hanya berlangsung selama 30 tahun dimulai dari 2004. Tapi pada 2010, kontrak kembali diperpanjang 20 tahun sehingga total kerjasamanya 50 tahun.
Serta permasalahan pengalihan kontrak dari PT Citra Karya Bumi indah kepada PT Grand Indonesia. Masalahnya, sertifikat HGB diagunkan oleh PT Grand Indonesia kepada bank untuk memperoleh kredit. Adanya permasalahan tersebut diduga negara mengalami kerugian sekitar Rp 1,2 triliun.