Perbedaan Pelayanan Saksi Ahli di Kejaksaan dan KPK Menurut Yunus Husein
"Mohon maaf, saya dari Pekanbaru, makan saya (bayar) makan sendiri, tiket beli sendiri, (katanya) nanti di reimburse di Jakarta,"
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemangkasan anggaran akan membuat Kejaksaan sulit menjaga hukum berdiri tegak di Indonesia.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menuturkan bagaimana pengalamannya menjadi saksi ahli di kejaksaan.
Yunus mengatakan setelah selesai tugasnya di PPATK, ia kerap dipanggil Kejaksaan untuk dimintai keterangannya sebagai saksi ahli.
Terakhir ia diundang sebagai saksi ahli untuk kasus yang ditangani Kejaksaan Negri Pekanbaru.
"Mohon maaf, saya dari Pekanbaru, makan saya (bayar) makan sendiri, tiket beli sendiri, (katanya) nanti di reimburse di Jakarta," ujarnya dalam media breafing, di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (13/3/2016).
Sedangkan bila diundang sebagai saksi ahli oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), segala kebutuhannya pun dipenuhi.
Bahkan saat menunggu untuk menemui penyidik di kantor KPK, saksi ahli dijamu dengan baik.
"Karena anggarannya beda, di KPK sebelum sidang saya ditemui dulu, dijelaskan apa yang mau ditanyakan. Tapi di Kejaksaan kadang-kadang kita tidak ketemu Jaksanya," katanya.
Di gedung Pengadilan Negri (PN) Jakarta Pusat, perbedaan anggaran juga terlihat dari ruang tunggu.
Kata dia di ruang tunggu untuk Jaksa KPK, jamuannya tersedia lengkap.
Sedangkan di Kejaksaan tidak seperti itu.
"Kemarin waktu jadi saksi ahli di Pengadilan Negri Jakarta Pusat, akhirnya saya numpang di ruang tunggu Jaksa KPK, padahal yang ngundang saya kejaksaan," katanya.
Biaya yang dianggarkan untuk membayar jasa saksi ahli pun tergolong minim.
Kata dia anggaran dari Kejaksaan hanya sekitar Rp 3 juta, sesuai peraturan yang ada.
Bahkan dalam kasus tertentu Kejaksaan tidak bisa membayar saksi ahli karena ketiadaan biaya.
"Bayangkan, saksi ahli yang dibayar tiga juta rupiah harus melawan saksi ahli terdakwa yang bisa dibayar ratusan juta rupiah," ujar Yunus Husein.
Sementara Narendra Jatna, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan bahwa untuk kasus tertentu terdakwa bahkan rela membayar saksi ahli yang tarifnya sampai miliaran rupiah.