Solidaritas Perempuan Kritik Pengesahan UU Nelayan
Solidaritas Perempuan menyayangkan sikap Pemerintah dan DPR mencederai perjuangan perempuan
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Solidaritas Perempuan menyayangkan sikap Pemerintah dan DPR mencederai perjuangan perempuan dengan mengingkari peran perempuan yang sangat signifikan di sektor perikanan
Apalagi itu diambil di tengah peringatan perjuangan perempuan sedunia, kata Puspa Dewy Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan kepada Tribun, Rabu (16/3/2016).
Hal ini kata dia, dibuktikan dengan tidak diakuinya identitas perempuan nelayan di dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang disahkan DPR RI.
Selain itu imbuhnya, DPR juga tidak mempertimbangkan masukan Solidaritas Perempuan dan sejumlah masyarakat sipil lainnya untuk memastikan pengakuan dan memperkuat perlindungan perempuan.
"Pengesahan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya ikan dan Petambak Garam telah disahkan dengan menghilangkan jaminan hak-hak perempuan nelayan, yang pernah ada di draft sebelumnya, adalah bentuk pelanggaran negara terhadap hak perempuan," ujarnya.
Padahal pada draft tertanggal 27 Agustus 2015 yang diterima oleh Solidaritas Perempuan, masih terdapat sejumlah pasal yang menyebutkan perempuan sebagai entitas yang juga berhak untuk dilindungi dan diberdayakan.
Namun dalam draft yang disahkan, perempuan hanya disebutkan dalam Pasal 45 sebagai bagian dari rumah tangga nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam yang harus diperhatikan keterlibatannya dalam kegiatan pemberdayaan.
Pendefinisian “setiap orang” tanpa eksplisit menyebutkan “laki-laki dan perempuan” sebagai subyek hukum dalam UU ini, berpotensi tidak memperhitungkan situasi dan kepentingan perempuan untuk masuk di dalamnya.
Hal ini karena sistem budaya patriarkhi yang masih melihat perempuan kelompok kelas nomor dua dan dianggap bisa diwakili atau identitasnya dilekatkan pada suami, ayah, saudara laki-lakinya.
Sehingga pada praktiknya “setiap orang” akan diterjemahkan sebagai laki-laki an sich. Terlebih karakteristik laut yang diidentikkan dengan maskulinitas, seringkali dianggap sebagai ranah yang tidak mungkin menjadi wilayah kelola perempuan.
Menurutnya, Negara semakin jelas mengukuhkan sistem partiarkhi yang tidak melihat perempuan sebagai pemangku kepentingan yang berperan sangat penting dalam pengelolaan pesisir.
Dia ingatkan bahwa peran perempuan di sektor perikanan sangat signifikan mulai dari pra-panen/
produksi, panen, paska panen dan bahkan hingga pangan tersedia untuk keluarga.
Selain sebagian dari perempuan juga melaut untuk menangkap ikan, umumnya perempuan pesisir berperan dalam tugas-tugas subsisten pra dan paska panen.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.