Khawatir Seperti Peristiwa 1965, RUU Antiterorisme Rawan Dipakai untuk Membungkam Lawan Politik
"Jangan sampai UU Antiterorisme punya nuansa seperti dulu, semua orang dituduh PKI."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak khawatir rancangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan melanggar hak asasi manusia.
Dahnil tidak ingin UU itu menjadi alat pemerintah untuk membungkam lawan politik, seperti yang terjadi dalam Tragedi 1965.
"Jangan sampai UU Antiterorisme punya nuansa seperti dulu, semua orang dituduh PKI," kata Dahnil di Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Dahnil menilai rancangan UU Antiterorisme membuka ruang penguasa menuduh kelompok tertentu yang tidak disukai.
Dalam hal ini, tambah Dahnil, kelempok tertentu bisa dituduh sebagai teroris oleh aparat hukum.
"Saya pikir hal ini bisa menjadi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan," ucap dia.
Daniel berharap upaya deradikalisasi tidak bersifat represif. Sehingga, tidak adanya pengggunaan kewenangan yang melewati batas.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan merevisi UU Antiterorisme. Draf rancangan UU itu menyisakan polemik terutama dalam pasal 43.
Dalam rancangan tersebut, penyidik ataupun penuntut memiliki kewenangan untuk menahan seseorang yang diduga terkait kelompok teroris selama 6 bulan.
Pasal ini dianggap memiliki banyak celah untuk penyalahgunaan wewenang, terutama menahan mereka yang belum tentu bersalah dalam kasus terorisme.
Penulis : Lutfy Mairizal Putra