Pasal-pasal Revisi UU Terorisme Harus Akuntabel
Pasal-pasal revisi yang memberi (tambahan) kewenangan pada aparat harus tetap terukur dan dapat dikontrol oleh pihak eksternal dan publik.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pasal/materi revisi UU 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme) mendapatkan reaksi kritis dari publik dan kalangan masyarakat sipil karena dianggap berpotensi mengekang kebebasan sipil dan rentan pelanggaran hak asasi manusia.
Mengomentari kekhawatiran tersebut, Wakil Ketua DPD RI, Farouk Muhammad, berpesan agar revisi benar-benar dilakukan secara cermat.
Pasal-pasal revisi yang memberi (tambahan) kewenangan pada aparat harus tetap terukur dan dapat dikontrol oleh pihak eksternal dan publik.
"Pasal-pasal revisi diharapkan efektif dalam mewujudkan keamanan sipil dari ancaman tindak pidana terorisme di satu sisi, dan pada saat bersamaan wajib melindungi kebebasan sipil dan menghormati hak asasi manusia, termasuk hak tersangka," kata Farouk.
Kunci untuk menjaga keseimbangan itu, kata Purnawirawan Polisi Bintang Dua ini ada pada akuntabilitas dalam pemberantasan terorisme.
"Pasal revisi mengenai pencegahan, penangkapan, dan penahanan harus terukur dan terkontrol sehingga menutup celah kesewenang-wenangan dan abuse of power oleh aparat," tegasnya.
Guru Besar PTIK ini menekankan proses penangkapan harus jelas hanya dapat dilakukan dengan alat bukti yang cukup, apa alat bukti itu harus diperinci sehingga tidak sewenang-wenang atau abuse of power.
Demikian juga dengan perpanjangan masa penahanan harus jelas dasar dan argumentasinya.
"Intinya proses penegakan hukum baik pencegahan maupun penindakan harus transparan dan akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," ungkap Guru Besar dalam Sistem Hukum Pidana ini.
Untuk itu kinerja aparat baik BNPT maupun Densus 88 harus tetap dapat dikontrol pihak luar.
Jika terkait intelijen maka UU 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara mengamanatkan DPR (Tim Pengawas Intelijen) sebagai lembaga pengawasnya jika terjadi pelanggaran UU.
Publik secara luas berhak mengontrol dan meminta pertanggungjawaban aparat.
"Jaminan (akuntabilitas) ini saya kira juga harus ditegaskan dan menjadi ruh revisi UU Terorisme," ujarnya.
Sejumlah pasal yang dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat antara lain, Pasal 12B mengenai sangkaan pidana terorisme, Pasal 25 mengenai pengaturan masa penahanan, Pasal 28 mengenai penangkapan, serta Pasal 43A Ayat (1) yang mengatur mengenai pencegahan tindak pidana terorisme.
Pasal 43A memberikan kewenangan bagi penyidik atau penuntut umum untuk membawa atau menempatkan terduga teroris ke tempat tertentu dalam wilayah hukumnya paling lama enam bulan, dianggap sebagian pihak sebagai penyekapan, bahkan disebut sebagai "pasal guantanamo" merujuk pada kamp penyekapan terduga teroris di Amerika yang kontroversial itu.
Pasal 25 yang mengatur mengenai masa penahanan selama penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. Jika total masa penahanan dalam KUHAP adalah 170 hari atau sekitar 6 bulan, sementara dalam draf RUU Terorisme, masa penahanan bertotal 300 hari atau hampir satu tahun.
Begitu pula pengaturan mengenai masa penangkapan yang diperpanjang dari tujuh hari menjadi 30 hari. Padahal, KUHAP hanya memperbolehkan penahanan selama 1x24 jam.
Publik mempertanyakan apakah masa penangkapan tujuh hari yang diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tidak cukup untuk mencari alat bukti dan mendalami kasus terorisme? Panjangnya masa penahanan ini berpotensi melanggar hak-hak tersangka yang diduga melakukan tindak pidana terorisme.