Siti Zuhro: Fahri Hamzah Dipecat, Kenapa PKS Tidak Pecat Kadernya yang Koruptor
PKS pun tidak berbeda dengan partai lain yang tidak memiliki acuan aturan
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro menilai perlawanan yang dilakukan Fahri Hamzah kepada PKS adalah hal yang wajar.
Hal ini karena PKS tidak memiliki konsistensi dalam bersikap terkait sikap kader-kadernya yang dianggap merugikan PKS.
PKS pun tidak berbeda dengan partai lain yang tidak memiliki acuan aturan untuk memberikan reward dan punishment.
“Yah wajar kalau Fahri melawan. PKS tidak konsisten. Kalau memang dianggap Fahri melanggar aturan partai, gak bisa mewakili partai, maka harus ada konsistensi dalam memberikan penalty terhadap kader-kader yang melakukan pelanggaran serupa. Kalau koruptor seperti Mantan Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishak atau Mantan Gubernur Sumut, Gatot Pudjo Nugroho, atau Arifinto yang menonton film porno tidak dijatuhi hukuman pemecatan, maka seharusnya pemecatan Fahri tidak dilakukan,” ujar Siti di Jakarta, Senin (25/4/2016).
Hal ini menurut Siti tidak bisa dijawab dan direspon oleh PKS sampai saat ini.
Padahal seharusnya hal seperti ini cepat direspon dan dijawab agar PKS tidak terkena fitnah oleh argumentasi yang diajukan oleh Fahri bahwa ada keputusan yang diskriminatif terhadap dirinya.
”Kalau orang membaca, sebenarnya Fahri kan menuntut kenapa orang-orang itu tidak dipecat seperti dirinya? Padahal dirinya yang kritis dianggap jauh lebih mempermalukan partai ketimbang para koruptor tersebut,” ujarnya.
Sikap elit PKS yang seperti ini, kata Siti tentunya tidak proper atau pas. Hal ini juga membuat PKS tidak lagi menjadi partai kader.
PKS kalau seperti ini tidak berbeda dengan partai-partai lainnya yang menjadikan ketua umumnya sebagai dewa pengambil keputusan yang mutlak.
”Ketua umum itu dalam partai kader yang modern harusnya hanyalah manager saja. Tapi yang terjadi ketua umum itu bisa jadi apa saja, bisa jadi capres, jadi cawapres, memecat kader yang berseberangan. Kalau seperti ini maka PKS akan mengalami kemunduran. Ketua umum yang enjoy disanjung-sanjung tentunya tidak reformis,” katanya.
Menurutnya, kalau ketua umum yang reformis dia justru akan mendorong kader-kadernya yang potensial untuk maju.
Dia akan mengelola perbedaan dengan kelihaian dan menjadikan partai sebagai rumah tempat bagi para kadernya untuk berkreasi bukan dengan otoriter membangun dinasti.
”Dalam partai yang demokratis, tidak akan suara kader yang berbeda dipendam apalagi sampai memecat kadernya. Kalau seperti ini tidak ada bedanya dengan partai dinasti,” ujarnya.
Oleh karena itu kehebohan antara PKS dan Fahri Hamzah saat ini seharusnya membuka para kader maupun elit PKS untuk menata ulang partainya.
Peraturan dan keputusan pun direview kenapa ada yang melanggar hukum seperti korupsi tidak dipecat, kenapa karena dianggap tidak patuh pada ketua umum harus dipecat.
“Negara saja sekarang darurat korupsi, kok koruptor tidak dijatuhkan sanksi pemecatan? Apa PKS menganggap hukuman penjara yang dijatuhkan pengadilan terhadap kadernya yang korup sudah cukup atau perlu ditambah dengan pemecatan dari partai. Kalau Fahri dianggap tidak representatif sehingga harus dijatuhkan sanksi, maka harus dijawab apakah koruptor tidak dijatuhkan sanksi juga merupakan representasi partai? Ini harus disandingkan dengan adil,” ujar Profesor Riset ini.