Penjara Over Kapasitas, Ditjen Pemasyarakatan Salahkan PP 99 Hambat Terpidana Dapatkan Remisi
"Jadi kita perlu sampaikan negara kita ini kan menganut sistem pemasyarakatan. Artinya mereka itu setelah divonis itu dibina, bukan dibinasakan,"
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengkritik peraturan yang mempersulit narapidana mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat.
Satu peraturan yang dikritik adalah PP Nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Juru Bicara Ditjen Pemasyarakatan Akbar Hadi mengatakan peraturan tersebut menyebabkan penjara penuh bahkan kelebihan daya tampung.
"Jadi kita perlu sampaikan negara kita ini kan menganut sistem pemasyarakatan. Artinya mereka itu setelah divonis itu dibina, bukan dibinasakan," kata Akbar saat diskusi bertajuk 'Ada Apa Dengan Lapas' di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (30/4/2016).
Menurut Akbar, untuk membuat jera, harusnya dibuat sebelum vonis dijatuhkan.
Pemberian efek jera, kata Akbar dilaksanakan saat proses dimulai dari penangkapan, penyitaan, penahanan, atau pemblokiran rekening.
"Apalagi ada pemberitaan dan ada pengaruh kepada keluarga," kata dia.
Akbar mengatakan remisi merupakan hak para narapidana sebagaimana yang diamanatkan undang-undang.
Untuk itu, Akbar mengingatkan agar putusan seberat-beratnya hendaknya diberikan saat pembacaan sidang putusan.
Bukan justru memperberat si terpidana mendapatkan hak-haknya di balik jeruji.
"Kalau mau menghukum lebih berat itu bukan ranah kita. Itu di ranah penegak hukum lain seperti hakim, bukan pemasyarakatan," kata Akbar.