Golkar Minta Pihak Luar Tak Campuri soal Pungutan Rp 1 Miliar
Sebab, proses pemilihan ketua umum dalam Munaslub itu sendiri belum dilaksanakan.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Steering Committee Munaslub Partai Golkar (PG), Agun Gunandjar Sudarsa meminta pihak luar tidak menyimpulkan terlalu dini perihal sumbangan (sebelumnya iuran wajib) calon ketua umum sebesar Rp1 miliar untuk urunan penyelenggaraan Munaslub PG adalah bagian gratifikasi.
Sebab, proses pemilihan ketua umum dalam Munaslub itu sendiri belum dilaksanakan.
"Kalau persoalan dengan KPK itu sudah clear (jelas), nggak ada masalah. Kami bisa pertanggungjawabkan itu semua. Saya meyakini itu bukan gratifikasi," kata Agun di kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Sabtu (7/5/2016).
"Makanya orang jangan terlalu cepat ambil kesimpulan. Kalau dikatakan berpotensi, iya saya setuju. Makanya dilihat nanti. Jangan terlalu cepat mengambil penilaian. Lah, ini masih berproses kok," sambungnya.
Sebelumnya, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimintai saran oleh utusan PG menyatakan, bahwa pungutan uang Rp1 miliar dari caketum adalah praktik politik uang (money politics) nyata dan bisa menjadi bagian gratifikasi.
Pergerakan dana tersebut bisa menjadi gratifikasi mengingat sejumlah orang yang menjadi caketum, panitia penyelenggara hingga para pengurus DPP dan DPD I/II selaku pemegang hak suara di Munaslub tersebut adalah Penyelenggara Negera.
Penolakan juga datang dari dua politisi senior Partai Golkar, Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung.
Namun, justru pihak panitia penyelenggara Munaslub Partai Golkar tidak mendengarkan saran dari KPK itu. Pungutan dana Rp1 miliar itu tetap dilakukan.
Agun tetap pada pandangannya, bahwa sumbangan sebesar Rp1 miliar dari kader itu bukan termasuk gratifikasi dan telah sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politi, khususnya yang mengatur sumber keuangan partai.
Menurut Agun, dimintanya sumbangan sebesar minimal Rp1 miliar itu karena untuk menghindari politik uang dengan asas rekonsilatif dan berkeadilan di antara caketum dalam Munaslub pasca-bersatunya dualisme kepengurusan partai.
Dan biaya untuk penyelenggaraan Munaslub kali ini tidak murah dan diperkirakan mencapai sekitar Rp44 miliar.
"Di era demokrasi, nggak ada yang instan tapi berproses. Jangan belum apa-apa sudah berasumsi ini gratifikasi. Tapi, ikuti aja dulu. Tapi, ketika munaslub itu berakhir, baru silakan divonis," katanya.
Ia menyampaikan terima kasih dan menghormati atas saran dan rekomendasi dari lembaga KPK. Namun, ia juga berharap pihak KPK dapat memahami pandangan dan penjelasan pihaknya.
"Saya tidak menyalahkan (KPK), saya menghargai dan menghormati sarannya. Tapi, hak saya juga untuk menjelaskan ini. Kan ini belum selesai," kata Agun yang juga anggota DPR selama empat periode itu.
"Gratifikasi? Menurut saya nggak, karena prosesnya belum selesai. Apanya yg gratifikasi?" sambungnya.
Agun meyakini tidak ada pelanggaran tindak pidana korupsi kendati sebagian caketum, panitia dan pemegang hak suara di Munaslub Partai Golkar 2016 adalah Penyelenggara Negara. "Apa ada urusannya dengan jabatannya di antara dua pihak (pemberi dan penerima dana)? Makanya di konteks yang berhubungan dengan jabatan harus dilihat. Seperti misalnya saya bupati membuat kebijakan, itu ada pengusaha, itu bisa," katanya.
Lantas, ia membandingkan pungutan sumbangan Rp1 miliar ke caketum parpol untuk Minaslub Partai Golkar ini dengan acara "Agustusan" di sebuah RT.
"Contohnya, sebuah RT atau RW saat mau adakan acara Agustusan, pihak RT mengumpulkan warga, pakai iuran nggak? Memang betul iurannya nggak miliaran rupaih. Tapi, untuk tiang panjat pinang misal harganya 1 juta, ada yang iuran Rp100 ribu sampai yang Rp10 ribu."
Agun pun menyatakan, menghormati dan menghargai penolakan dan pandangan dari dua senior partainya, Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung. "Tapi, apakah itu yang terbaik, apakah itu yang benar, yah kita lihat nanti. Panitia masih bekerja," tukasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.