Sisir Buku Kiri, Jokowi Diminta Tegur Menhan yang Timbulkan Kecemasan Masyarakat
Hasil investigasi yang berhubungan dengan peristiwa 1965 dan PKI merupakan tindakan bertentangan dengan nalar publik
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Setara Institute Hendardi mengingatkan tindakan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu, yang melakukan penyisiran terhadap buku-buku komunisme dan yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)
Menurutnya, hasil investigasi yang berhubungan dengan peristiwa 1965 dan PKI merupakan tindakan bertentangan dengan nalar publik, mengancam kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, dan ilmu pengetahuan.
"Penyisiran sejumlah toko buku juga merupakan tindakan dan reaksi berlebihan atas fenomena kebangkitan PKI, yang justru diduga diproduksi oleh TNI konservatif berkolaborasi dengan kelompok Islam garis keras," kata Hendardi dalam keterangan yang diterima, Minggu (15/5/2016).
Dirinya menilai, perintah Menhan kemungkinan keluar jalur dari apa yang diperintahkan oleh Presiden Joko Wododo beberapa waktu sebelumnya.
"Sebagai perintah penegakan hukum, maka sesungguhnya perintah itu bukan untuk TNI melainkan tugas Polri sebagai penegak hukum. Perintah Jokowi untuk menegakkan hukum ditangkap oleh TNI sebagai perintah represi yang sama sekali tidak mempertimbangkan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan HAM," katanya.
Hendardi meminta Jokowi menegur Menhan yang menurutnya justru menimbulkan kegaduhan di ruang publik, kecemasan masyarakat, dan mempermalukan Indonesia dengan penerapan politik represi dalam menangani persoalan bangsa.
"Sekali lagi, bahwa kebangkitan PKI adalah mitos, karena sangat tidak masuk akal jika kegiatan berkebudayaan yg ditujukan untuk mengungkap kebenaran persitiwa melalui film, diskusi, dan kegiatan lainnya justru dianggap sebagai indikator kebangkitan PKI," katanya.
Dia menilai semua kegiatan itu ditujukan untuk meyakinkan negara mengambil sikap dan penyelesaian atas pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Semua langkah itu adalah tugas konstitusional dan legal yg melekat pada pemimpin bangsa, siapapun presidennya. Pendasaran tindakan represi dengan menggunakan sejumlah UU juga bertentangan dengan semangat reformasi yang ditunjukkan melalui pembatalan PNPS No.4 Tahun 1963 maupun Putusan MK. Pada intinya memberikan pengakuan hak yang setara bagi korban PKI, penghargaan kebebasan berpikir dan berekspresi dan lain sebagainya," katanya.
Sebelumnya Menhan Ryamizard mengacu pada berbagai peraturan terkait perintahnya. Di antaranya wewenang TNI membantu Polri menjaga keamanan yang diatur dalam Undang-Undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI.
Selain itu, purnawirawan TNI ini juga mengacu pada Undang-Undang Tahun No.27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.
Sementara untuk mengontrol buku, Ryamizard menggunakan aturan usang antisubversi PNPS No.4 Tahun 1963. Padahal sudah sejak 2010, aturan ini dicabut Mahkamah Konstitusi.
Berdasar aturan ini, Jaksa Agung punya kuasa menentukan apakah sebuah buku terlarang atau tidak. Ia menganggap buku-buku mengenai komunisme dan PKI berpotensi mengganggu keamanan.
"Pokoknya yang bertentangan dengan Pancasila, kita larang!" Kata Menhan.
Pada April lalu, toko Buku Ultimus Bandung disambangi tentara. Mereka menanyakan tentang buku-buku yang dijual apakah ada yang mengandung komunis atau berkaitan dengan PKI. Sedangkan di Yogyakarta, Resist Book juga didatangi tentara pada Selasa (10/5/2016).
Sementara itu di Jakarta Timur, Kodim 0505, menyita buku "Palu Arit di Ladang Tebu" yang ditulis Hermawan Sulistyo.
Sementara pada penangkapan aktivis AMAN di Ternate, TNI juga menyita buku-buku di antaranya Nalar yang memberontak (Filsafat Marxisme) karya Alan Woods dan Ted Grant dan buku investigasi Tempo mengenai Lekra dan Geger 1965 yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).