PPATK: Tidak Semua Nama yang Tercantum pada "Panama Papers" Dianggap Bersalah
Temuan tersebut sudah disampaikan ke penegak hukum. Namun, belum direspon secara optimal.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak semua nama yang ada dalam bocoran Panama Papers, ICIJ Offhore Leaks dan sejenisnya serta merta dianggap bersalah.
Data itu perlu disandingkan dengan data lain, seperti temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna mengetahui apakah uang diperoleh dengan cara "haram".
"Laporan transaksi keuangan yang mencurigakan hasil verifikasi PPATK jauh lebih banyak dibandingkan Panama Papers. Jumlahnya mencapai 56 ribu laporan," kata Kepala PPATK Muhammad Yusuf dalam diskusi ETF Fellowships Gathering bertajuk ‘Panama Papers: Pemahaman, Pemberitaan, dan Hak Asasi' di Jakarta, Selasa (17/5/2016).
Yusuf mengakui, sejauh ini hasil pemeriksaan PPATK terhadap data yang dimiliki baru pada tahap mencurigakan.
Temuan tersebut sudah disampaikan ke penegak hukum. Namun, belum direspon secara optimal.
"Kami khawatirkan ada celah dalam skema bisnis yang berpotensi untuk digunakan kejahatan akibat lemahnya pengawasan," kata Muhammad Yusuf.
Ia menyebut sejumlah alasan yang digunakan penegak hukum yang enggan menindaklanjuti hasil temuan PPATK seperti datanya masih mentah sehingga tidak cukup bukti, hingga sulitnya mencari alat bukti atas kecurigaan tersebut.
"Hingga kini penindaklanjutannya berjalan agak lamban. Bahkan, boleh dibilang sampai sekarang belum ada kemajuan," ujarnya.
Karena itu, Yusuf mengusulkan kepada Presiden untuk segera menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) agar hasil temuan bisa segera ditindaklanjuti.
"Kami sudah menyiapkan draft, tinggal mendapat paraf secepatnya dari kementerian terkait agar bisa diserahkan ke istana," katanya.
Yusuf menambahkan, lewat Inpres, maka saat penegak hukum menindaklanjuti temuan PPTK, yakni meminta keterangan pihak-pihak terkait dan kemudian menyatakan tidak cukup bukti, maka penegak hukum wajib menyampaikan resumenya ke PPATK.
"Penegak hukum tiba pada kesimpulan tidak cukup bukti, saya harap resumenya dikirim ke PPATK, atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk pungut pajaknya," ujarnya.
Potensi dari para pengemplang pajak baik perusahaan maupun pribadi mencapai Rp30 triliun hingga Rp40 triliun. "Tetapi yang baru bisa kita tarik ke kas negara antara Rp3 triliun hingga Rp 4 triliun," tuturnya.
Sementara Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat yang adalah lulusan program ETF Fellowship mengatakan peretasan data dalam Panama Papers sebenarnya tergolong pelanggaran privasi.
"Karena dilakukan tanpa didasari undang-undang tertentu, bukan atas perintah pengadilan atau otoritas yang sah, dan tidak dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang," katanya.
Dampaknya, menurut Imdadun adalah berkurangnya kemerdekaan, keleluasaan dan otonomi individu yang disebut namanya dalam bertransaksi ekonomi dengan pihak lain, bahkan dapat merusak nama baik.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Eka Tjipta Foundation, Hasan Karman mengatakan terkait kasus "offshore fund", pembahasan di media berlangsung seru, tetapi belum memberikan porsi yang memadai mengenai hal-hal mendasar mengenai praktik tersebut.
"Mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak melanggar hukum, mana yang tergolong pelanggaran hukum, kenapa itu dilakukan, bagaimana caranya, dan siapa yang melakukannya," katanya.
Pemberitaan yang kuat tanpa penjelasan yang memadai menurut dia bisa membuat publik menduga-duga jika mereka yang namanya tercantum dalam Panama Paper sebagai pihak yang bersalah, setidaknya punya niat tidak baik.