Kebiri Kimia Bikin Predator Seks Tambah Ganas
Sebab katanya kebiri kimia tidak efektif untuk menimbulkan efek jera dan tak menjamin pelaku yang dikebiri tidak akan mengulangi
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK -- Pemberlakukan hukuman tambahan kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual anak dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang baru saja ditandatangani Presiden Jokowi, dianggap oleh Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel kurang tepat.
Sebab katanya kebiri kimia tidak efektif untuk menimbulkan efek jera dan tak menjamin pelaku yang dikebiri tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
Bukan hanya itu, Reza justru menganggap hukuman kebiri kimia akan membuat pelaku kejahatan seksual anak, makin eksplosif atau makin membahayakan dibanding sebelumnya.
Belum lagi kata Reza, biaya pemberian kebiri kimia yang ditanggung pemerintah berikut segala efek samping pengobatannya kepada pelaku kejahatan seksual anak, secara umum akan merugikan.
"Kebiri kimia bukan hanya tidak efektif jika ditujukan untuk menimbulkan efek jera, tetapi malah membahayakan masyarakat sekaligus merugikan," kata Reza yang merupakan Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne, kepada Warta Kota, Kamis (26/5/2016).
Ia menjelaskan dimasukkannya hukuman kebiri kimia dalam Perppu yang ditandatangai Presiden Jokowi, karena Istana berasumsi bahwa, kastrasi hormonal dengan kebiri kimia akan memunculkan efek jera pada diri para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, sebagai akibat dari lumpuhnya dorongan seksualnya.
"Ada kekeliruan asumsi yang melatari disahkannya Perppu berisi hukuman kebiri itu, yakni kejahatan seksual dianggap sama dengan perilaku seksual sehingga dipercaya dan niscaya semuanya dilatari oleh motif seksual," kata Reza.
Namun faktanya, kata Reza, dalam sangat banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak, motif pelaku justru adalah dominansi dan kontrol.
"Di balik itu ada amarah, dendam, serta kebencian yang berkobar-kobar di diri pelaku. Datangnya luapan perasaan negatif itu berasal dari, antara lain, kesakitan yang muncul karena si pelaku atau predator pernah mengalami perlakuan kekerasan serupa semasa usia belia," kata Reza.
Sehingga kata Reza, tindakan memviktimisasi anak-anak oleh predator, dapat dipahami sebagai cara si predator melampiaskan dendamnya.
"Dan anak-anak, selaku target lunak. Anak-anak merupakan pihak yang paling mudah dijadikan sebagai sasaran-pengganti pengekspresian sakit hati sang predator," katanya.
Karenanya kata Reza jika kebiri kimia yang nota bene dianggap mematikan syahwat seksual pelaku, di samping itu ada perasaan negatif pelaku mulai dari dendam, amarah dan kebencian yang berkobar yang melatari aksinya. Semua perasaan negatif itu tidak serta-merta ikut padam dengan kebiri kimia.
"Maka justru dengan kastrasi hormonal atau kebiri kimia, si predator bisa semakin eksplosif dan mencari cara lain. Karena obsesinya pada dominansi telah dihalang-halangi. Ia juga merasa telah direndahkan ke posisi pecundang dengan kebiri kimia," kata Reza.
Sehingga tambah Reza, sebagai kompensasi atas kekalahan akibat kebiri kimia yang dialami itu, si predator akan mengembangkan modus-modus baru atau pun melibatkan pihak lain guna memastikan bahwa dendamnya tetap bisa diekspresikan dan hasrat dominansi tetap bisa terpenuhi.
"Akibatnya, jika sebelumnya si predator hanya mengincar anak-anak selaku target paling potensial. Maka dengan amarah berlipat ganda akibat dikebiri, ia akan menyasar siapa pun atau tidak hanya anak-anak. Orang dewasa atau pun objek non manusia bisa menjadi sasaran agresinya," kata Reza.
Hal yang demikian kata Reza akan semakin kentara pada pelaku kejahatan seksual anak yang masuk dalam kategori paedofil mysoped. "Paedofil Mysoped ialah predator seksual yang biasa menggunakan cara-cara brutal untuk melumpuhkan korbannya," kata Reza.
Selain itu, tambah Reza, tidak tepatnya kebiri kimia untuk menghentikan predator melakukan aksinya, karena keterbangkitan seksual sebenarnya tidak hanya sebatas karena faktor hormonal saja, tetapi juga masalah fantasi.
"Itu yang membuat, maaf ini sebatas ilustrasi, dimana seorang anak yang belum memasuki usia pubertas pun, tetap bisa menunjukkan respon fisik pada alat vitalnya manakala terangsang secara seksual," katanya.
Padahal kata dia anak yang belum pubertas secara hormonal belum memiliki hormon seksual seperti orang dewasa untuk terangsang.
Diluar itu semua, katanya, kebiri kimia juga akan berpotensi sangat merugikan uang negara.
Sebab agar dorongan seksual predator tetap lumpuh, sebagaimana akseptor keluarga berencana yang menggunakan metode suntik, maka si predator juga harus diinjeksi kebiri kimia secara berkala.
"Persoalannya, siapakah yang sudi jika sekian persen anggaran negara malah dialokasikan untuk 'merawat' secara teratur makhluk-makhluk laknat yang telah memangsa anak-anak?," kata Reza.
Selain itu, tambahnya, pengobatan karena efek samping baik secara fisik maupun psikis dari kebiri kimia yang dialami predator juga akan kembali ditanggung negara.
"Sebab ketika efek samping itu muncul dan si predator merasa perlu berobat, maka secara prosedural ia akan mengunjungi puskesmas, dokter umum di rumah sakit, lalu dokter spesialis di rumah sakit. Maka bisa diperkirakan atau dipastikan sumber pembiayaan si predator berasal dari Kartu Indonesia Sehat (KIS)," kata Reza.
Sebangun dengan pemikiran itu, Reza akhirnya bertanya, "Sampai hatikah Pemerintah membiarkan KIS-nya digunakan oleh penjahat-penjahat seksual?"
Sementara, katanya, banyak warga dan masyarakat yang pasti tidak sudi, uang negara atau uang rakyat justru dihamburkan untuk para penjahat seksual anak itu.
Apalagi, kata Reza, hal itu tak juga menjamin para predator berhenti melakukan aksinya.
Jadi, sekali lagi, Reza menegaskan bahwa kebiri kimiawi bukan hanya tidak efektif jika ditujukan untuk menimbulkan efek jera. "Tetapi malah membahayakan sekaligus merugikan," katanya. (Budi Sam Law Malau)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.