Perppu Kebiri Dinilai Masih Banyak Celah, Minim Perlindungan Korban
Peneliti Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menjelaskan Perppu kebiri ini sangat minim perspektif korban.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun, aturan yang tergolong baru tersebut justru kini mendapat banyak penolakan.
Perppu tersebut dikeluarkan atas dasar sikap reaktif pemerintah. Perppu tersebut dikeluarkan tanpa adanya perspektif korban kekerasan seksual dalam proses pembahasannya.
Peneliti Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menjelaskan Perppu kebiri ini sangat minim perspektif korban. Yang ada di benak pemerintah hanya soal pelaku.
"Soal kompensasi bagi korban tidak ada," ujarnya.
Koordinator Divisi Perubahan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti juga senada.
Ia menyebut Perppu kebiri minim aspek rehabilitasi terhadap korban.
Padahal, dalam tindak kekerasan seksual, aspek pemidanaan saja tak cukup untuk menjamin supaya pelaku tak mengulangi perbuatannya.
"Kalau si pelaku dihukum kebiri lalu dia bebas, apa itu menjamin bahwa dia tak akan mengulangi lagi perbuatannya, kan tidak," katanya.
Dia pun mengatakan penanganan pelaku tindak kejahatan seksual sepatutnya dilaksanakan dalam bentuk paket penanganan komprehensif.
Dengan demikian, jika pelaku selesai menjalani masa hukuman, pola pikir pelaku mengalami perubahan dan tidak mengulangi kesalahan sebelumnya.
"Ya memang dengan begitu pemerintah dituntut untuk melakukan reformasi dalam sistem pemasyarakatan, supaya orang masuk lembaga pemasyarakatan justru berubah menjadi lebih baik, bukan malah semakin lihai," tutur dia.
Khotimun juga menilai kekerasan seksual belum dianggap sebagai kejahatan besar oleh mayoritas aparat penegak hukum di Indonesia.
"Itu bisa dilihat dari data Komnas Perempuan, di tahun 2015, 40 persen kasus kekerasan seksual justru berhenti di Kepolisian," ujar Khotimun.