Royani Sopir Pribadi Nurhadi 'Menghilang' dan Mahkamah Agung pun Menyerah
Mahkamah Agung tidak bisa berbuat apa-apa terkait buronnya Royani, pegawai negeri sipil yang dianggap menjadi saksi kunci kasus perkara suap.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) tidak bisa berbuat apa-apa terkait buronnya Royani, pegawai negeri sipil yang dianggap menjadi saksi kunci kasus perkara suap di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
MA berdalih tidak punya intelijen untuk mengejar Royani yang juga sopir pribadi Sekretaris MA Nurhadi.
"Kalau yang bersangkutan datang ke MA kami akan mengimbau agar dia memenuhi panggilan KPK. Tapi kalau tidak datang, MA tidak punya intel atau orang untuk mencari Royani," kata Juru Bicara MA Suhadi.
Kendati demikian MA sudah resmi memecat Royani pada Jumat pekan lalu. Royani sangat diharapkan kehadirannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Betul. Dipecat oleh Badan Pengawas MA," kata Suhadi.
Menurut Suhadi, Badan Pengawas MA memberhentikan Royani secara tidak hormat lantaran absen kerja selama 42 hari.
Royani, kata Suhadi, bolos kerja tanpa alasan yang jelas.
"Sudah 42 hari tidak masuk kerja tanpa alasan jelas," kata dia.
Bisa Ada Tersangka Baru
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui keterangan dari PNS Mahkamah Agung Royani sangat penting untuk mengungkap kasus suap pengajuan peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Meski dirasa penting keterangan dari Royani, namun Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pihaknya sudah menyiapkan jalan lain sekiranya Royani yang telah lama tidak diketahui keberadaannya tak kunjung memenuhi pangggilan lembaga antirasuah itu.
"Ya akan kita usahakan tanpa Royani. Mudah-mudahan banyak data yang telah ditemukan anak-anak (penyidik) ya. Jadi Royani penting tapi mudah-mudahan ada jalan lain lah," kata Agus.
Agus mengakui jalan lain tersebut adalah mencari keterangan dari sumber-sumber lainnya.
Agus mengklaim penyidik KPK telah menemukan sejumlah keterangan dan bukti-bukti dari pemeriksaan saksi-saksi lainnya. Data tersebut, kata dia, juga termasuk dari Lippo Group.
Agus mengungkapkan pihaknya saja menetapkan tersangka baru pada kasus tersebut tanpa pemeriksaan atau mendapatkan keterangan dari Royani.
"Ya bisa saja begitu, tapi jangan buru-buru begitu dulu lah. Kita akan kembangkan terus mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa selesaikan masalah ini. Kita akan tetap berusaha menemukan Royani," kata Agus.
Nurhadi Dicecar
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi untuk kedua kalinya.
Nurhadi diperiksa terkait kasus perkara suap di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Saat diperiksa penyidik, Nurhadi dicecar mengenai uang Rp 1,7 miliar yang disita dari kloset rumahnya karena diduga terkait perkara suap.
"Dikonfirmasi mengenai hasil geledah di rumahnya, lalu keterkaitannya dengan kasus-kasus yang disidik," ujar Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati di Gedung KPK.
Selain soal uang, menurut Yuyuk, Nurhadi juga ditanyakan terkait keberadaan sopirnya, Royani yang hingga kini belum diketahui.
Royani telah beberapa kali mangkir dari pemanggilan KPK. Royani berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
Sebelumnya, muncul dugaan bahwa Nurhadi menyembunyikan Royani dari penyidik KPK. Hal itu diduga dilakukan karena keterangan Royani dinilai cukup penting untuk mengetahui sejauh mana peran Nurhadi dalam perkara suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebelumnya KPK menangkap tangan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan seorang pekerja swasta bernama Doddy Ariyanto Supeno.
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka selaku pemberi dan penerima suap.
Uang sebesar Rp 50 juta yang disita dalam operasi tangkap tangan tersebut diduga terkait pengajuan peninjauan kembali (PK), dua perusahaan swasta yang sedang berperkara di PN Jakarta Pusat.
Dalam kasus ini, KPK telah menyita uang sebesar Rp 1,7 miliar di kediaman milik Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta. Uang dalam jumlah tersebut ditemukan dalam berbagai pecahan mata uang asing.
KPK menduga uang tersebut terkait dengan perkara hukum yang sedang ditelusuri. (eri/wly)