Pengamat: UU Pilkada Bikin Bawaslu Seperti Tak Punya Kewenangan
"Artinya Bawaslu mendapat kewenangan kosong. Karena yang akan diberi sanksi sudah dilegalkan," ujar Toto.
Editor: Hasanudin Aco

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Senior Para Syndicate Toto Sugiarto menilai hasil akhir revisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) justru membuat kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tumpul.
Meski kewenangan Bawaslu ditingkatkan dengan bisa menjatuhkan sanksi administratif berupa diskualifikasi pasangan calon kepala daerah, namun di sisi lain politik uang dilegalkan.
"Artinya Bawaslu mendapat kewenangan kosong. Karena yang akan diberi sanksi sudah dilegalkan," ujar Toto di Kantor Para Syndicate, Jumat (3/6/2016).
Adapun dalam Pasal 73 Bab disebutkan bahwa calon dan atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan atau pemilih.
Dalam bagian penjelasan, yang tidak termasuk memberikan uang atau materi lainnya meliputi pemberian biaya kampanye, biaya transportasi peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum.
Toto mengkhawatirkan, karena pertemuan terbatas antara pasangna calon dan peserta pemilu diperbolehkan, maka akan diwarnai politik uang yang justru lebih masif.
Sekalipun aturan ini akan diatur lebih rinci di dalam Peraturan Bawaslu atau Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), kata dia, hanya akan mengatur batas nominal uang atau batasan pemberian barang.
"Misal setiap orang 100.000. Ya tukang becak lebih milih datang terus tapi dapat 100 ribu perhari daripada narik becak," ujarnya.
Ia melihat, hasil revisi UU Pilkada sarat akan politik pragmatis serta keinginan para anggota DPR untuk melenggangkan jalan mereka untuk meraih kekuasaan.
"Ini kemunduran kalo menurut saya dan akan kembali memunculkan ketidakadilan," kata dia.
"Dan seandainya ada yang mau judicial review ke MK seharusnya pasal ini. Pasal 73," tutup Toto.
Penulis: Nabilla Tashandra