Kementerian Kesehatan Dianggap Lamban Respon Peredaran Vaksin Palsu
Anggota Komisi IX DPR, Okky Asokawati menyesalkan lambatnya respon dari Kementerian Kesehatan dalam menindaklanjuti kasus vaksin palsu.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR, Okky Asokawati menyesalkan lambatnya respon dari Kementerian Kesehatan dalam menindaklanjuti kasus vaksin palsu.
Padahal kasus tersebut sudah lama terjadi.
Namun, belum ada pencegahan dan pengawasan dari Kementerian Kesehatan.
"Saya sangat menyayangkan bahwa sudah lama kasus ini terjadi tapi tetap saja tidak ada pencegahan dan pengawasan diberikan. Baru setelah Bareskrim menemukan, Kemenkes merespon," kata Okky di Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/6/2016).
Sementara itu, Anggota Komisi IX lainnya, M Iqbal menyesalkan dengan beredarnya vaksin palsu untuk balita beredar di masyarakat.
Hal yang turut disesalkannya adalah peredaran vaksin palsu itu luput dari pengawasan BPOM.
"Kita heran mengapa peredaran vaksin palsu ini yang disinyalir sudah beredar tahunan luput dari pengawasan Badan POM. Padahal pengawasan obat-obatan termasuk vaksin yang beredar di masyarakat merupakan tugas Badan POM," kata Iqbal.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya mengatakan terbongkarnya bisnis vaksin palsu berawal dari adanya kematian bayi usai diimunisasi.
Berbekal informasi dari media dan masyarakat, penyidik langsung melakukan penyelidikan dan mengumpulkan berbagai data.
Dibeberkan Agung, butuh waktu hingga tiga bulan untuk bisa mengungkap bisnis yang sudah berlangsung belasan tahun tersebut.
"Kami selidiki ini selama 3 bulan, akhirnya terungkap. Kami imbau masyarakat peduli pada kualitas kesehatan anak-anak," kata Agung, Jumat (24/6/2016) di Mabes Polri.
Hingga saat ini kasus tersebut masih dalam pengembangan.
Belum bisa dipastikan ada keterlibatan pihak Kementerian Kesehatan dalam kasus tersebut.
"Kalau keterlibatan pihak Kemenkes masih penyelidikan. Sejauh ini yang sudah ada indikasi terlibat baru rumah sakit tertentu, apotik, dan bidan," ucap Agung.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.