Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hati-hati Revisi UU Terorisme

Jangan sampai, revisi justru malah menjadi langkah mundur karena pelibatan militer yang berlebihan.

Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Hati-hati Revisi UU Terorisme
SURYA/HAYU YUDHA PRABOWO
Personel Densus 88 memindahkan enam terduga teroris ke Jakarta menggunakan mini bus di Mako Brimob Polda Jatim Detasemen B Pelopor Ampeldento, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Minggu (21/2/2016) lalu. 

 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dan DPR diingatkan untuk berhati-hati melakukan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Jangan sampai, revisi justru malah menjadi langkah mundur karena pelibatan militer yang berlebihan.

Menurut peneliti terorisme, Prof (ris) Hermawan Sulistyo, teror sesuai definisinya adalah membangkitkan ketakutan. Namun, teror bukanlah perang karena yang jadi sasaran adalah masyarakat sipil sehingga keterlibatan militer pun harus dibatasi..

"Karena itu (teror) ranah sipil. Maka harus ada proses hukum. Harus ada akuntabilitasnya mengapa seseorang mati dan siapa yang membunuhnya," ujar Hermawan dalam diskusi bertema Arah Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme di pressroom DPR RI, Selasa (28/6/2016).

Upaya pemberantasan teror, menurutnya juga bukanlah perang. Karenanya pemberantasan teror jangan ditarik ke sektor pertahanan.

"Kalau perang tidak perlu akuntabilitas siapa yang menembak. Seribu tentara mati kalau perang tak perlu ditanya matinya kenapa," tegasnya.

Hermawan kemudian memuji Polri yang sebenarnya sudah maju dalam mengatasi teror. Salah satu contohnya adalah Bom Thamrin.

Berita Rekomendasi

"Siapa bilang bom Thamrin itu kecolongan? Dua menit setelah insiden pertama sudah ada tembak-tembakan. Dan ternyata ada dua bom yang lebih besar tidak meledak," Hermawan menegaskan.

Direktur Imparsial, Al Araf dalam diskusi tersebut menambahkan, pemberantasan terorisme sebaiknya tak melibatkan militer.
Menurutnya, pemberantasan teror dengan cara militer justru akan mengesempingkan HAM dan akuntabilitas.

Pemberantasan teror, katanya lagi, harus tetap ditempatkan dalam criminal justice system seperti yang sudah berlaku saat ini.

Sesuai Statuta Roma, katanya, teror dikategorikan sebagai kejahatan serius (serious crime), bukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

"Jadi tak perlu penanganannan ekstra sampai melibatkan milter,” katanya.

Al Araf menambahkan, sungguh aneh jika pemerintah menggunakan pendekatan perang sebagai pengganti criminal justice system untuk memerangi teroris.

Sebab, Indonesia sudah memisahkan antara pertahanan dan keamanan.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas