Atasi Penyanderaan, Perlukah ASEAN Bentuk Pasukan Khusus Gabungan? Ini Kata Komandan Paskhas
Melakukan aksi pembebasan sandera di wilayah negara lain juga tak mudah dilakukan.
Editor: Malvyandie Haryadi
Kerja sama bidang militer yang sejauh ini dilaksanakan, masih terbatas pada pertukaran informasi, pertukaran perwira untuk pendidikan, kunjungan, atau forum-forum diskusi yang sifatnya temporer.
“Tapi, implementasi riilnya belum ada karena terbentur undang-undang tiap negara tadi.”
Untuk kasus di perairan, Wattimena mencontohkan, kita bisa melakukan pengejaran sampai pada batas teritorial negara lain.
Setelah itu kita tidak bisa masuk ke sana. Makanya yang paling bisa dilakukan saat ini adalah melakukan patroli bersama di perbatasan.
Ini pun bukan operasi di laut dalam, hanya di perairan-perairan antarpulau saja.
“Jadi saya kira ASEAN ke depan ini harus mau membuka diri. Harus ada yang mendorong, harus ada yang menginisiasi, dan harus ada ratifikasi dari masing-masing parlemen negaranya. Level politiknya harus menyetujui dulu,” kata perwira tinggi bintang dua TNI AU ini.
Batas masing-masing negara yang saat ini menjadi kendala, tidak semestinya menjadi satu-satunya ‘ego’ atau idealisme yang membentengi terciptanya masalah keamanan bersama.
“Negara-negara maju, mereka sudah terintegrasi membangun peace and security bersama,” ujar Dankorpaskhas. “Kan ada istilah global village dimana kita hidup bersama di planet ini. Yang juga artinya, keamanan semestinya menjadi kebutuhan bersama.”
Faktor lain, langkah menuntaskan masalah terorisme atau aksi-aksi penyanderaan juga tidak akan sembrono dilakukan oleh suatu pemerintahan. Mereka punya oposisi juga.
“Karena itu kan menyangkut rakyat mereka sendiri. Tidak mungkin pemerintah begitu saja memerangi rakyatnya sendiri. Ini bisa menimbulkan masalah serius juga,” ungkap Adrian Wattimena.
Penulis: Roni Sontani/Angkasa Online