Idul Fitri Bermakna Hari Kembali Sucinya Jiwa Umat Muslim
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia menjadi lebih mulia."
Editor: Johnson Simanjuntak
Oleh: Said Aqil Siraj Ketua Umum PBNU
TRIBUNNEWS.COM - Puasa Ramadan telah berakhir dan Idul Fitri kembali menyapa kita.
Idul Fitri bermakna hari kembali sucinya jiwa umat Muslim setelah bergulat dengan puasa dan rangkaian ibadah sebulan penuh selama Ramadhan.
Di negeri kita, perayaan Idul Fitri memiliki kekhasan tersendiri, yakni sering diistilahkan dengan "Lebaran" yang tidak saja menjadi milik umat Muslim secara eksklusif, tetapi juga telah menjadi kultur bangsa yang unik.
Tepatlah di momen ini, kita perlu mengudarakan kembali refleksi terhadap makna tamaddun yang berarti keperadaban.
Sebuah model masyarakat yang hendak dicitakan oleh Islam dan telah diteladankan oleh Nabi Muhammad.
Masyarakat yang berperadaban berarti masyarakat yang menjunjung tinggi akhlak dan martabat serta mengelola pluralitas menjadi kekuatan yang positif.
Cita-cita inilah menjadi titik sentral misi kerasulan Nabi Muhammad lewat sabdanya, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia menjadi lebih mulia."
Budaya keperadaban
Pejuang-pejuang kebangsaan Indonesia sejak dahulu semuanya mempelajari dan mempraktikkan budaya jujur, adil, arif-bijaksana, tertib, dan disiplin, moderat dan rendah hati.
Unsur-unsur budaya beradab tersebut dipraktikkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab, bermartabat, dan terhormat.
Transformasi berkeadaban dan bermartabat itu dilakukan melalui interaksi yang santun dan dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural.
Di mulai dari pemahaman perorangan, keluarga, dan masyarakat tentang perlunya cinta kasih antara sesama, memupuk rasa keindahan, empati dalam penderitaan dan kegelisahan orang lain, menghormati hukum dan keadilan, memiliki pandangan positif untuk hidup bersama, mempunyai tanggung jawab dalam pengabdian, serta memiliki harapan yang optimis dalam kehidupan.
Keadaban ini jelas bergayut dengan kesadaran terhadap kemajemukan. Masyarakat majemuk dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan agama.