Sejumlah Kejanggalan Eksekusi 4 Terpidana Mati Bandar Narkoba
Jaksa Agung HM. Prasetyo hanya menjelaskan bahwa ada alasan yuridis dan non yuridis dalam pengambilan keputusan tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hanya empat dari empat belas terpidana mati kasus narkotika yang dieksekusi di Nusakambangan pada Jumat lalu (29/7/2016).
Jaksa Agung HM. Prasetyo hanya menjelaskan bahwa ada alasan yuridis dan non yuridis dalam pengambilan keputusan tersebut.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu mengatakan proses eksekusi keempat terpidana itu dipenuhi dengan berbagai kejanggalan.
Para terpidana itu tidak mendapatkan haknya, yakni 3 X 24 jam pemberitahuan sebelum eksekusi.
Kenyataannya mereka hanya diberi waktu 60 jam, sebelum akhirnya timah panas mengakhiri nyawa empat terpidana mati yakni Humprey Jeffersson, Michael Titus Igweh, Seck Osmane dan Freddy Budiman.
Selain itu sejumlah terpidana juga belum menerima salinan keputusan presiden (Kepres) soal penolakan grasi.
Sehingga sang terpidana tidak tahu apakah permohonan maafnya ke presiden diterima atau tidak.
Oleh karena itu ia menyayangkan sikap pemerintah yang seperti enggan membeberkan alasan, mengapa hanya empat dari empat belas terpidana mati yang dieksekusi.
Bila memang ada alasan non-yuridis, ia memaklumi itu sebagai urusan Presiden Joko WIdodo.
Namun alasan Yuridis, adalah hak masyarakat untuk tahu.
"Tolong dibuka kenapa empat dieksekusi dan yang lain tidak dieksekusi, jangan negeri ini kembali lagi ke jaman tidak beradab," ujar Erasmus dalam konfresi pers bersama koalisi masyarakat tolak eksekusi mati, di kantor Yayasan Lembaa Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Minggu (31/7/2016).
Mengenai pemberitahuan 72 jam, hal itu bukanlah pemberitahuan biasa.
Aturan itu disusun agar terpidana mati bisa mempersiapkan proses hukum, mental dan segala sesuatunya terkait hukuman mati.
Ia menegaskan, bahwa proses tersebut harus dihargai karena menyangkut nyawa seseorang.
"Apa alasannya, apa bedanya yang empat ini dieksekusi dan yang lain tidak, kenapa tidak semuanya dibatalkan eksekusinya," kata Erasmus.
Kordinator Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Julius Ibrani menambahkan bahwa sebelum eksekusi dilakukan, tidak ada daftar nama yang jelas siapa saja yang hendak diekskusi.
Bukan hanya masyarakat yang kesulitan mengakses, pihak keluarga dan pihak pengacara juga kesulitann mengakses informmasi tersebut.
Selain dari segi proses hukum dan keterbukaan infomasi, dari segi anggaran pelaksanaan eksekusi tersebut juga harus dipertanyakan.
Pasalnya negara menganggarkan sekitar Rp 400 juta untuk membunuh seorang terdakwa.
Belakangan diketahui anggaran untuk eksekusi tahap III adalah sekitar Rp 7 miliar, dan anggaran untuk mengeksekusi 14 orang itu sudah habis, padahal hanya empat orang yang akhirnya diekskusi.
Kata Julius, terdapat indikasi penyimpangan anggaran di situ.
"Jadi ini jelas bertentangan dengan komitmen pemerintahan Pak Jokowi, yang melakukan penghematan anggaran," ujarnya.