Saksi Ahli: Atas Dasar Apa Menteri Hentikan Reklamasi? Hanya Gubernur yang Berhak
"Atas dasar apa menteri menghentikan reklamasi? Hanya gubernur yang berhak menghentikan,"
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang dengan terdakwa Ariesman Widjaja, mantan Direktur Utama PT Agung Podomoro Land Tbk dan anak buahnya Trinanda dalam kasus suap pembangunan kawasan Pantai Utara Jakarta, Rabu (3/8/2016).
Sidang kali ini beragendakan mendengarkan keterangan saksi ahli I Gede Panca Astawa, ahli hukum tata negara.
Dalam persidangan, dirinya menyatakan bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) mempunyai kekuatan hukum untuk melanjutkan pembangunan kawasan Pantai Utara Jakarta.
Menurutnya, wewenang Ahok tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara.
"Melalui Pasal 4 di Keppres 52 tahun 1995, itu artinya memberikan kewenangan kepada gubernur DKI Jakarta. Mau diapakan saja, itu wewenang penuh ada pada gubernur," kata I Gede Panca di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (3/8/2016).
Menurutnya, dengan wewenang tersebut, Ahok berhak untuk mengeluarkan izin reklamasi kepada pengembang maupun memberhentikan proyek tersebut, jika ditemukan permasalahan dalam pelaksanaannya.
"Itu semua ada di tangan gubernur DKI," katanya.
Untuk itu Panca mengaku heran dengan keputusan Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli yang mengeluarkan moratorium terhadap proyek pembangunan kawasan Pantai Utara Jakarta.
Menurut dia, Rizal Ramli tidak mempunyai wewenang.
"Atas dasar apa menteri menghentikan reklamasi? Hanya gubernur yang berhak menghentikan," katanya.
Selain itu, I Gede Panca menambahkan proyek pembangunan kawasan Pantai Utara Jakarta tetap dapat dijalankan kendati terbit Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Kawasan Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.
"Sepanjang berkaitan dengan tata ruang tetap berlaku (Keppres 52 tahun 1995). Itu logika hukumnya," tambahnya.
Apalagi Keppres 52 tahun 1995 merupakan pelaksanaan dari Keputusan Presiden nomor 17 tahun 1994 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita VI).