Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pakar Hukum Pidana Menilai Syarat Remisi Koruptor Dipermudah Itu Kebijakan yang Salah

Revisinya adalah dengan menghilangkan ketentuan menjadi justice collabolator (JC) sebagai syarat remisi bagi pelaku korupsi, terorisme dan narkotika.

Editor: Anita K Wardhani
zoom-in Pakar Hukum Pidana Menilai Syarat Remisi Koruptor Dipermudah Itu Kebijakan yang Salah
net

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Kusmiantha Dusak mengungkapkan rencana revisi PP No 99/2012.

Revisi yang akan dilakukan adalah dengan menghilangkan ketentuan menjadi justice collabolator (JC) sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika.

Rencana ini kemudian menuai pertentangan dari berbagai kalangan. Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana menilai, rencana pemerintah mempermudah syarat remisi bagi koruptor, bukan kebijakan yang tepat."Itu kebijakan salah," ujar Gandja, Jumat (12/8/2016).

Rencana merevisi PP No 99/2012 ini menurutnya, para napi dari kasus tersebut, khususnya koruptor, akan lebih mudah mendapatkan remisi karena hanya harus memenuhi dua kriteria, yakni berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidananya.016).

Gandjar menjelaskan, adanya ketentuan menjadi JC itu merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan sebuah kasus. Narapidana diajak kooperatif ikut membongkar segala informasi yang diketahuinya dengan jaminan akan mendapatkan remisi."Maka dari itu kalau jadi JC dan infonya berharga maka diringankan hukumannya," kata dia.

Menurut Gandjar, dengan dihilangkannya ketentuan menjadi JC, akan merugikan negara.
Hal itu bisa mempersulit pengusutan kasus hingga tuntas karena memungkinkan narapidana menyembunyikan informasi tapi tetap mendapatkan remisi."Info enggak dapat, ada kecenderungan dia (narapidana) menyembunyikan temannya siapanya dan lain-lain. Itu kebijakan yang salah," kata dia.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Kusmiantha Dusak mengatakan, upaya revisi PP No 99/2012 itu mendesak dilakukan mengingat kondisi LP yang kian padat. Di sisi lain, pelaksanaan JC selama ini justru dimanfaatkan oknum penegak hukum yang tidak taat prosedur. "Status JC tidak jarang menjadi komoditas yang diperjualbelikan," katanya.

Berita Rekomendasi

Mengenai napi korupsi, Dusak beranggapan, penegakan hukum terhadap koruptor seharusnya selesai di pengadilan, sebab di sana ada jaksa yang menuntut dan hakim yang memvonis.

Adapun peran LP adalah memasyarakatkan kembali para terhukum. Di sisi lain, beban lapas yang berat karena jumlah napi yang kini mencapai lebih dari 180.000 orang harus segera diatasi.
"Pemudahan remisi dimaksudkan untuk mengurangi beban LP. Sejak adanya PP No 99/2012, sekitar 65.000 napi narkotika tidak bisa mendapatkan remisi. Dalam kondisi semacam ini, pemasyarakatan tidak mampu menampung mereka dengan layak," ujar Dusak.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, juga mengaku tidak sepakat dengan rencana pemerintah tersebut. Menurut Mahfud, pemidanaan dalam kasus korupsi harus dibedakan, karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa, sehingga pemidanaannya harus lebih berat. "Saya termasuk yang tidak setuju kalau ada upaya peringanan terhadap koruptor," ujar Mahfud.

Menurut Mahfud, di dunia internasional, untuk pidana tertentu dibedakan hukumannya maupun fasilitas yang diberikan kepada terpidana. Misalnya, bagi terpidana kasus korupsi, terorisme, pembunuhan berencana, dan narkotika. "Di mana pun, itu dianggap kejahatan yang sangat membahayakan, sehingga tidak disamakan pemberlakuannya dan fasilitasnya terhadap mereka (terpidana) ini," kata Mahfud.

Ketua DPR Ade Komarudin rencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tak bijaksana. Menurut Ade, pemerintah tak boleh terlalu kooperatif terhadap tiga jenis kejahatan, yaitu narkoba, korupsi, dan terorisme.

"Kalau saya sih, kurang bijaksana. Kita tidak boleh terlalu kooperatif terhadap keputusan-keputusan hukum yang berkaitan dengan tiga hal itu," kata Ade.

Ia menyadari bahwa pada beberapa lembaga pemasyarakatan memang terjadi over capacity yang kebanyakan oleh narapidana narkoba. Namun, untuk memberantas narkoba, menurut Ade, tak hanya memberikan hukuman tetapi juga melalui tindakan preventif.

Mengenai remisi, ia berpendapat, layak diberikan kepada terpidana yang melakukan kejahatan di luar tiga jenis kejahatan itu. "Kalau yang mencuri pencuri handphone di tempat kalian boleh kasih remisi lah. Kemudian ngutil resto di swalayan begitu-begitu lah," kata Politisi Partai Golkar itu. (tribunnews/kompas.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas