Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mantan Sekretaris MA Bersaksi untuk Penyuap Panitera PN Jakarta Pusat

JPU KPK menghadirkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai saksi dalam sidang Direktur PT Artha Pratama

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Sanusi
zoom-in Mantan Sekretaris MA Bersaksi untuk Penyuap Panitera PN Jakarta Pusat
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Sekretaris MA, Nurhadi (batik hijau) usai diperiksa di kantor KPK, Jakarta, Senin (30/5/2016). Nurhadi diperiksa selama 11 jam sebagai saksi untuk tersangka Dodi Arianto Supeno terkait kasus suap Panitera PN Jakarta Pusat. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menghadirkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai saksi dalam sidang Direktur PT Artha Pratama Anugerah Doddy Arianto Supeno, Senin (15/8/2016).

Nurhadi sebelumnya juga telah dimintai keterangan oleh penyidik KPK. Hari ini dirinya hadir untuk menjelaskan soal dugaan mengatur perkara di pengadilan.

Sebelumnya, penasihat hukum terdakwa, Jeremy William mengatakan, dalam amar dakwaan juga tidak disebutkan peran Doddy secara jelas dalam perkara suap untuk penanganan dua perkara.

Padahal, ada sejumlah nama lain yang juga disebutkan dalam surat dakwaan seperti Eddy Sindoro, Hery Sugiarto, Ervan Adi Nugroho, dan Wresti Kristian Hesti.

Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa Eddy Sindoro memerintahkan seorang stafnya yakni Wresti untuk memberikan suap kepada Edy melalui terdakwa sebesar Rp 150 juta.
Jeremy menilai ada yang janggal, lantaran Doddy tak terkait dengan perusahaan yang sedang berperkara.

Kliennya itu diketahui hanya menjabat sebagai Direktur Utama PT Artha Pratama Anugerah (APA).

"Dalam surat dakwaan hanya PT APA yang berkorelasi dengan Doddy. Sementara perusahaan yang lain ini terkesan diarahkan, padahal tidak ada hubungannya sama sekali," kata Jeremy.

Berita Rekomendasi

Doddy didakwa memberikan uang kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.

"Pemberian dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," ujar Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcayanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (29/6/2016).

Menurut Jaksa, pemberian uang itu agar Edy Nasution menunda proses pelaksanaan "aanmaning" atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL).

Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati batas yang ditetapkan undang-undang.

Atas perbuatan tersebut, Doddy didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas