Suka Duka Transmigran: Awalnya Saya Takut Tsunami
Selama satu tahun pertama, kehidupannya ditopang oleh bantuan sembako dari pemerintah.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Imam Asnawi tidap pernah tahu betul daerah yang namanya Uba Selatan, di kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Saat pertamakali diberitahu bahwa ia ditempatkan di wilayah itu sebagai seorang transmigran pada 2012 lalu, yang ia tahu pulau Halmahera adalah pulau kecil.
"Saya takutnya Tsunami saja, karena kan pulaunya kecil," ujar Asnawi kepada wartawan di komplek parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (16/8/2016).
Sebelum 2012 Asnawi adalah petani semangka di kampung halamannya, di Tegalsari, Banyuwangi, Jawa Timur.
Ia menggarap lahan orang, dengan penghasilan sekitar Rp 2 juta perbulan.
Penghasilannya itu hanya cukup untuk menafkahi istri dan dua orang anaknya.
Nasib Asnawi sebagai petani di kampung halamannya berakhir di tahun 2012, setelah panennya gagal, sehingga ia merugi.
Bukannya patah arang dengan beralih profesi sebagai kuli kasar sebagaimana umumnya petani gagal di Banyuwangi, ia malah memutuskan untuk transmigrasi.
Di kantor transmigrasi di Banyuwangi, ia mendaftar dengan hanya bermodalkan kartu keluarga.
Dua bulan setelahnya ia diberitahu bahwa ia ditempatkan di Halmahera, dan ia pun mengambil kesempatan itu.
Sang istri sempat bertanya soal ketersediaan infrastruktur di tempat tersebut.
Terkait pertanyaan itu, pria asli Banyuwangi itu juga mengaku tidak tahu.
Namun ia meyakini di tempat baru itu kehidupannya akan lebih baik lagi.
Di tahun 2012 ia akhirnya berangkat ke Halmahera. Ia diberikan lahan seluas 1 hektar di wilayah Uba Selatan, lengkap dengan rumah papan berukuran 5 x 6 meter.
Selama satu tahun pertama, kehidupannya ditopang oleh bantuan sembako dari pemerintah.
Di tempat barunya itu, tidak ada listrik, namun di tempat baru itu ia bisa mengakses listrik dari genset, yang hanya bisa dioperasikan sesekali saja.
Praktis hal itu membuat wilayah Uba Selatan menjadi wilayah yang sunyi dan gelap pada malam hari.
Selain listrik, sinyal telepon selular juga tidak tersedia di wilayah tersebut.
Walaupun Imam dan semua anggota keluarganya memiliki handphone, namun benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk berkomunikasi.
"Kalau kangen keluarga di Banyuwangi, saya bisa telepon, tapi harus dari ibukota kabupaten, namanya Labuha, jaraknya sekitar satu jam dengan sepedamotor," ujarnya.
Tanpa listrik dan sinyal telepon selular, hal itu membuat pilihan hiburann Imam terbatas.
Ia mengaku selama tinggal di Uba Selatan, hiburannya hanyalah mencangkul tanah, dan bercengkrama dengan keluarganya.
"Kalau siang ya saya mencangkul, ya kalau malam cuma bercanda dengan anak istri saya," katanya.
Aliran listrik dari pembangkit listrik terdekat baru tersedia tahun lalu, begitupun dengan sinyal telepon selular.
Kemajuan-kemajuan tersebut telah membuat hidupnya jauh lebih mudah.
Selain infrastruktur, sebagai seorang transmigran ia juga harus bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, yang mayoritasnya tidak bisa berbahasa Indonesia.
Namun dengan niat baik dan kesediaan untuk saling memahami, ia tidak pernah menemui kendala dalam berkomunikasi.
Segala keterbatasan di wilayah baru itu menurut Imam adalah hal yang pantas untuk ia tempuh.
Di tempat baru itu ia menanam buah naga, yang setiap bulannya panen, mencapai 400-600 kilogram.
Keuntungan yang ia raup dari hasil sekali panen adalah Rp 17 juta.
"Ya lumayanlah dibandingkan tetap di Jawa," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.