Sosok Imanuel Nuhan, Sang Penerjun Payung Pertama Indonesia
Siapa yang mengira bahwa ia adalah salah satu dari 13 orang penerjun payung pertama di tanah air.
Editor: Malvyandie Haryadi
Permintaan ini disambut baik oleh AURI dengan membentuk Tim yang terdiri dari 13 prajurit pejuang dan menunjuk Mayor Udara Tjilik Riwoet sebagai putra daerah Kalimantan untuk menyiapkan prajurit dalam misi tersebut.
Tepat pada pukul 07.00 WIB, tanggal 17 Oktober 1947, pesawat C-47 Dakota RI-002 yang dipiloti oleh Bob Freeberg berkebangsaan Amerika, dan kopilot Opsir Udara III Suhodo, serta jump master Opsir Muda Udara III Amir Hamzah menerjunkan 13 prajurit di daerah Sambi Kotawaringin Barat.
"Pada saat penerjunan itu, semua anggota selamat, namun saat istirahat di pondok tak jauh dari lokasi pendaratan, mereka dikepung pasukan Belanda dan terjadi kontak senjata hingga menyebabkan tiga orang pejuang tewas," lanjut Hernison.
Saat pengepungan oleh pasukan Belanda itu, beberapa orang sempat meloloskan diri termasuk Imanuel. Namun pada akhirnya semuanya tertangkap. Imanuel menjadi orang terakhir yang tertangkap.
Mereka yang tertangkap kemudian dipenjarakan Belanda di Nusakambangan. Namun setelah melalui berbagai perundingan, seluruh tahanan akhirnya dibebaskan.
"Setelah bebas, bapak ditugaskan di beberapa tempat termasuk pernah di kebun binatang Wonokromo. Setelah pak Tcilik jadi gubernur, ia ditarik jadi kabiro humas sampai akhirnya pensiun pada tahun 1980," ungkapnya.
Imanuel kini menghabiskan masa tuanya di Kota Palngkaraya bersama anak-anaknya. Imanuel memiliki 11 anak dari dua istri. Istri pertama yang telah meninggal dikaruniai 8 orang anak, sementara istri kedua memiliki tiga anak.
Di masa tuanya itu, Imanuel terkadang meminta kepada anak-anaknya agar dibawa ke Desa Sambi, tempatnya mendarat dulu. Ia ingin menemui warga desa.
"Beliau selalu ingin ke Sambi tapi kami anak-anaknya tak mengizinkan karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan. Bapak ingin agar masyarakat Kalteng tahu bahwa pejuang yang pernah mendarat di Sambi masih hidup," tutur Hernison.
Imanuel juga selalu berharap agar pemerintah bisa lebih memperhatikan sejarah yang melekat di kota Sambi. "Pemerintah harus melestarikan dan mengembangkan Desa Sambi, karena jika desa berkembang, sejarah juga akan terus dikenang," tutup dia.
Penerjunan 13 pasukan tersebut kemudian dikukuhkan 20 tahun kemudian, dengan keputusan Men/Pangau nomor 54 tahun 1967 tanggal 12 Oktober 1967 bahwa tanggal 17 Oktober 1947 sebagai hari jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) yang sekarang dikenal dengan nama Korps Pasukan Khas Angkatan Udara (Korpaskhasau).