Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ani Terobsesi Dokter Bedah Syaraf yang Sukses 'Memisahkannya' dengan Sang Kembaran 29 Tahun Lalu

Operasi pada 21 Oktober 1987 itu menjadi tonggak sejarah bidang kedokteran di Indonesia, khususnya bedah saraf.

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Ani Terobsesi Dokter Bedah Syaraf yang Sukses 'Memisahkannya' dengan Sang Kembaran 29 Tahun Lalu
TRIBUN JATENG/TRIBUN JATENG/a prianggoro
KEMBAR SIAM YULIANA DAN YULIANI - Kembar siam Pristian Yuliana (kanan) dan Pristian Yuliani saat datang ke Studio Orange Kompas TV di Palmerah Selatan, Jakarta, Kamis (25/8). Kedua kembar siam dengan posisi kepala dempet di ubun-ubun (craniopagus vertical) dan menjalani operasi pada 21 Oktober 1987. Operasi itu jadi tonggak sejarah bidang kedokteran di Indonesia, khususnya bedah saraf. TRIBUN JATENG/A Prianggoro/APE 

Ani, demikian sapaan akrab Pristian Yuliani, merupakan kembar siam dempet di kepala secara vertikal (kraniopagus) dengan pasangannya, Pristian Yuliana yang akrab dipanggil Ana.

Kembar Yuliana-Yuliani menjadi pemberitaan hangat pada 1987 alias 29 tahun silam.

Berkat upaya keras yang dilakukan tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dipimpin Prof dr Padmosantjojo, Yuliana dan Yuliani bisa dipisahkan serta hidup normal.

Pakde adalah panggilan akrab Prof dr Padmosantjojo, seorang ahli bedah saraf yang berhasil memisahkan selaput otak (duramater) Ani dan Ana ketika masih balita.

Operasi pada 21 Oktober 1987 itu menjadi tonggak sejarah bidang kedokteran di Indonesia, khususnya bedah saraf.

Saat ini, Ani telah lulus menjadi dokter dari Universitas Andalas dan sedang menjalani program intersip di Puskesmas Seberang Padang, Kota Padang, Sumatera Barat.

"Pakde selalu kontak dengan saya pada Sabtu dan Minggu. Dia adalah orangtua angkat saya, yang menyekolahkan saya menjadi dokter dan kakak saya (Ana) menjadi doktor," kata Ani ketika ditemui di studio Kompas TV, Kamis (25/8/2016).

Berita Rekomendasi

Ani ingin bisa menolong bayi kembar siam.

"Saya ingin membuktikan kepada Pakde, saya bisa lho menjadi seperti Pakde. Menjadi seperti Pakde merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan saya ingin menolong anak lainnya," tambah Ani.

Menurut Ani, ada sejumlah anggapan kembar siam mempunyai risiko tinggi dalam perkembangan. Anggapan itu kemudian menjadi cambuk bagi dirinya untuk menggapai prestasi.

"Kami harus bisa membuktikan, kami kembar siam berisiko tinggi tapi kami bisa berkompetisi dan bersaing dengan anak-anak lainnya. Kami tidak kalah," kata Ani bersemangat.

Sedang Ana yang saat ini tengah menyelesaikan program strata tiga (S3) atau doktoral ilmu nutrisi dan teknologi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat, dapat menyelesaikan studi S1 dengan status cumlaude, hanya dalam waktu 3,5 tahun.

"Sebenarnya cita-cita saya juga ingin jadi dokter," katanya.

Semula ia tidak begitu menyukai pelajaran kimia dan biokimia.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas