Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Rawan Jadi Alat Politik, Penunjukkan Komjen BG Jadi Kepala BIN Harus Terus Dikritisi

Menurut Andre posisi Kepala BIN sangat sentral dalam menentukan sebuah kebijakan

zoom-in Rawan Jadi Alat Politik, Penunjukkan Komjen BG Jadi Kepala BIN Harus Terus Dikritisi
TRIBUNNEWS.COM/TRIBUNNEWS.COM/LENDY RAMADHAN
Wakapolri, Komjen. Pol. Budi Gunawan dalam acara silaturahmi Polri bersama keluarga korban teror Thamrin di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (22/1/2016). TRIBUNNEWS.COM/LENDY RAMADHAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penunjukkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) harus terus dikritisi.

Sebab, bukan tidak mungkin pada Pilpres 2019 mendatang Komjen Budi Gunawan akan dijadikan alat politik partai politik tertentu karena strategisnya posisi BIN tersebut.

"Semua pihak harus mengkritisi penunjukan BG, jika tidak demokrasi kita bukannya semakin membaik tetapi akan semakin mundur,"ujar Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade dalam pernyataannya, Minggu(4/9/2016).

Menurut Andre posisi Kepala BIN sangat sentral dalam menentukan sebuah kebijakan.

Mengingat tugas utamanya adalah mengumpulkan berbagai informasi sebagai bahan pertimbangan Presiden dalam menentukan kebijakan.

"Setelah gagal dan Tito menjadi Kapolri, BG akhirnya dikasih posisi Kepala BIN. Berkaca dari sejarah itu, penunjukan BG ini warning bagi tegaknya demokrasi ke depan. Jangan sampai BIN ditarik-tarik untuk kepentingan politik," tegas Andre.

Komjen Budi Gunawan dikhawatirkan juga akan dijadikan alat politik PDI Perjuangan.

Berita Rekomendasi

Misalnya dijadikan alat barter politik dengan pencalonan kembali Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilkada 2017 mendatang.

"Gerindra menghargai dan menghargai usulan Presiden, tetapi pengangkatan BG ini harus diawasi bersama agar nantinya benar-benar mengawal keamanan bangsa, menjaga Indonesia dari munculnya benih-benih dan tindak terorisme serta menjaga diri kepentingan politik praktis," terang Andre.

"Jangan sampai penunjukan BG dijadikan alat politik, misalnya sebagaimana isu yang santer dikabarkan sebagai barter pencalonan Ahok. Padahal dalam Pilkada DKI, Ahok tidak mendaftarkan diri ke PDIP," sambungnya.

Diungkapkan, publik masih ingat bagaimana Presiden pernah menolak nama BG menjadi Kapolri buntut kisruhnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kisruh yang kemudian memakan korban dua petinggi komisi antirasuah, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Jauh sebelum pencalonan BG sebagai Kapolri, namanya juga disebut-sebut sebagai tim utama pemenangan Jokowi pada Pilpres 2014.

Pertemuannya dengan petinggi PDIP Trimedya Pandjaitan yang menyeruak ke publik menjadi indikasinya.

Setelah tidak terpilih menjadi Kapolri, lanjut Andre, beberapa kader PDIP lantas menyoroti petugas partainya yang melenggang menjadi Presiden RI.

Jokowi dinilai tidak tahu balas budi dengan BG yang sudah berkeringat memenangkannya menjadi Presiden RI.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas