Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Respons Politikus Golkar Terkait Menangnya Kasus 'Papa Minta Saham' di MK

Diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto terkait penafsiran 'pemufakatan jahat'

Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Fajar Anjungroso
zoom-in Respons Politikus Golkar Terkait Menangnya Kasus 'Papa Minta Saham' di MK
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Setya Novanto berjalan keluar usai memberikan keterangan kepada Jampidsus di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (4/2/2016). Setya Novanto dimintai keterangannya oleh Jampidsus terkait dugaan pemufakatan jahat dalam reksman pencatutan nama Presiden. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekronik (ITE) yang baru selesai dibahas Komisi I, memasuki babak baru.

Bukan hanya sekadar harmonisasi dengan KUHP, atau revisi pasal karet yang memakan banyak korban, tetapi juga melindungi hak privasi masyarakat secara lebih bertanggungjawab.

Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizadi mengatakan, setelah hasil final MK ini, diluar perangkat hukum dan intelijen negara dilarang keras melakukan penyadapan dan rekaman ilegal pribadi yang disebar.

"Keputusan MK ini tidak hanya untuk Setnov, tapi privasi publik menjadi terlindungi secara konstitusional," kata Bobby melalui pesan singkatnya, Sabtu (10/9/2016).

‎Politikus Golkar itu mengatakan, hal ini lah yang menjadi babak baru revisi UU ITE, dimana sekarang hak privasi masyarakat terlindungi, sebagai jawaban atas kekhawatiran banyak pihak atas pasal karet di UU ITE.

‎Diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto terkait penafsiran 'pemufakatan jahat' dan rekaman dalam kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla terkait permintaan saham PT Freeport.

BERITA REKOMENDASI

MK memutuskan, makna pemufakatan jahat yang diatur dalam UU Tipikor multitasir, sedangkan rekaman yang dijadikan alat bukti atas dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden tidak sah karena tidak dilakukan aparat penegak hukum.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas