KPU Ancam Hentikan Kampanye Ahok Jika Nusron Masih Ketua Tim Pemenangan
Ferry menjelaskan Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh terlibat dalam kampanye Pilkada
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) berhak menghentikan kampanye duet calon gubernur dan wakil gubernur Ahok-Djarot apabila sang ketua tim pemenangan Nusron Wahid belum menyatakan sikap mundur dari jabatan Kepala BNP2TKI.
"Mundur dari pejabat negara sebagai Kepala BNP2TKI atau tidak ikut dalam kampanye pilkada. Jika belum mengambil keputusan, maka KPU berhak menghentikan kampanye tersebut," kata Komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah dalam pernyataannya, Senin(26/9/2016).
Ferry menjelaskan Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh terlibat dalam kampanye Pilkada.
Sikap Nusron itu kata Ferry bertentangan dengan Pasal 2 huruf b dan f UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 tentang Pilkada.
Disebutkan dalam pasal tersebut, pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara dan kepala desa atau sebutan lain atau lurah dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.
Ferry menegaskan, KPU masih memberi waktu kepada Nusron sebelum ditetapkan pasangan calon gubernur.
Tak hanya Nusron, Ferry juga mengingatkan kepada seluruh pejabat negara tunduk dan patuh terhadap peraturan Pilkada dan Undang-undang ASN.
"Pasangan calon kepala daerah yang melibatkan ASN bisa saja dengan menggugurkan pasangan calon yang didukung ASN. Kalau ada rekomendasi itu, bisa saja ke arah sana. Makanya, sanksi administrasinya kan dia (pasangan calon) melakukan upaya menggunakan fasilitas negara. Itu yang lebih berat sebenarnya," ujarnya.
Dia menegaskan, KPU akan bersikap tegas bagi mereka pasangan calon kepala daerah yang melibatkan pejabat ASN. Siapapun yang tidak netral dan menggunakan fasilitas negara dalam pelaksanaan Pilkada 2017, akan dikenakan sanksi tegas.
"Tim sukses, pasangan calon atau yang terkait dalam upaya-upaya yang tidak netral maksudnya menggunakan fasilitas negara misalnya sarana mobilitas itu ditindak pidana sebenarnya. Harusnya sih ada dua sanksi yaitu pidana dan adminstrasi," jelasnya.
KPU berharap norma-norma tersebut bisa dimasukkan ke dalam Undang-undang dalam revisi UU Pilkada. Agar ke depannya aturan tersebut bisa diterapkan oleh KPU.
"Kalau peraturan KPU sepanjang Undang-undang tidak mengatur lebih jauh, KPU tidak akan berbuat apa-apa. Tapi kalau Undang-undang mengatur secara norma yang betul mengikat dan ada sanksi, itu akan lebih baik," imbuhnya.