Perindo: Larangan Usung Capres Menyandera Hak Politik
RUU tersebut tersebut menyandera hak partai-partai politik baru yang ingin bersaing di Pemilu Presiden 2019 dengan mengusulkan calonnya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum yang memuat larangan terhadap Partai Politik (Parpol) baru untuk mengusung capres dan cawapres pada Pemilu 2019 mendapat kritik keras di masyarakat.
Pasalnya, dalam rancangan atau draft revisi menyebutkan bahwa parpol baru berpotensi kehilangan haknya lantaran tak bisa mengusung calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) pada Pemilu serentak 2019.
Ketua Umum DPP Rescue Perindo Adin Denny menambahkan, RUU tersebut tersebut menyandera hak partai-partai politik baru yang ingin bersaing di Pemilu Presiden 2019 dengan mengusulkan calonnya.
"Semua parpol mempunyai hak untuk mengusung capresnya sendiri, karena sesuai bunyi putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Adin Denny di Jakarta, Sabtu (15/10/2016).
Adin menilai, jika presidential treshold-nya merunjuk kepada Pemilu 2014, maka akan menimbulkan diskriminasi terhadap parpol yang sudah mengikuti pemilihan 2014, dengan parpol baru.
"Semua partai politik peserta pemilu, baru ataupun lama, harus diperlakukan dengan sama, hal ini untuk menghasilkan pemilu yang berkeadilan,"ujarnya.
Dia berharap pemerintah dan DPR segera membatalkan RUU tersebut karena tidak mewujudkan pemilu yang demokratis dan juga melenceng dari amanat Undang-undang (UU) Dasar 1945.
"RUU ini juga membunuh hak konstitusional partai baru yang baru lolos,"tegas politikus Partai Perindo tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, mengatakan, RUU itu sangat tak relevan dengan konsep keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2019 nanti.
"Efek dari keserentakan secara langsung semua parpol peserta pemilu mestinya bisa mengusung calon. Sebab pencalonan presiden menjadi tidak bergantung pada perolehan kursi atau suara parpol," jelas Titi ketika dihubungi wartawan beberapa waktu lalu.
Selain itu, kata dia, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 nanti digelar serentak. Hal itu sangat tidak relevan jika pemerintah menggunakan hasil Pileg 2014 untuk syarat pencalonan capres dan cawapres.
"Kalau syarat pencalonan presiden dan cawapres adalah hasil pemilu legislatif sebelumnya, maka MK tentu tak akan memutuskan pemilu serentak legisaltif dan eksekutif,"tandasnya.
Sekadar diketahui, Pemerintah telah menyelesaikan rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum. Salah satu aturan baru yang mendapat kritikan adalah penggunaan hasil Pemilu Legislatif 2014 sebagai syarat bagi parpol mengusung pasangan calon di Pemilu Presiden 2019.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.