Fadli Zon Nilai Problem Pangan Bisa Diatasi Bila Tiap Orang Jadi Petani Bagi Dirinya Sendiri
Perlu dijadikan prinsip bahwa setiap keluarga di Indonesia diharapkan bisa memenuhi sebagian kecil kebutuhan pangannya secara subsisten.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari Pangan Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober, tahun ini mengambil tema 'Climate is Changing, Food Agriculture Must Too', yang di Indonesia kemudian diadopsi menjadi 'Membangun Kedaulatan Pangan Berkelanjutan Mengantisipasi Era Perubahan Iklim'.
Menanggapi peringatan Hari Pangan Se-dunia, Wakil Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Fadli Zon menyampaikan jika tantangan Indonesia dalam urusan pangan akan semakin berat ke depan. Salah satu indikatornya adalah tingginya angka impor dan defisit perdagangan pangan.
"Sejak 2007 Indonesia mengalami defisit perdagangan pangan. Impor pangan melejit lebih cepat daripada ekspor, sehingga defisit terus melebar. Laju permintaan pangan di Indonesia kini mencapai 4,87% per tahun, dan tak mampu dikejar oleh kemampuan produksi nasional," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (15/10/2016).
"Itu sebabnya hingga kini kita masih mengimpor komoditas pangan strategis, seperti misalnya beras, jagung, kedelai, tepung terigu, gula pasir, dan bahkan garam. Angkanya juga terus meningkat. Tahun lalu, total impor pangan menguras devisa hingga US$8,846 miliar, atau sekitar Rp 116,5 triliun. Untuk tahun ini, pada semester pertama 2016 saja nilai impor pangan sudah sebesar US$5,4 miliar, atau setara Rp 70,1 triliun dengan volume 14,6 juta ton. Jumlah ini naik sekitar 12,2% jika dibandingkan angka pada periode yang sama tahun 2015. Hingga akhir tahun, angkanya akan lebih besar lagi," papar Fadli Zon.
Ketergantungan yang tinggi terhadap impor pangan ini, menurut Fadli, disebabkan oleh banyak faktor.
Namun, dirinya melihat ada dua faktor mencolok yang membuat kenapa produksi pangan kita tidak pernah mencukupi kebutuhan.
Pertama adalah alih fungsi lahan produktif, dan kedua adalah mandeknya regenerasi petani di Indonesia.
"Di Jawa dan Bali, angka rata-rata konversi lahan pertanian masing-masing sekitar 7.923 hektar per tahun dan 1.000 hektar per tahun. Angka ini tentunya memprihatinkan, sebab Jawa berkontribusi terhadap 53% produksi pangan nasional," keluh Fadli Zon.
"Hal kedua adalah mandeknya regenerasi petani. Bayangkan, usia rata-rata petani Indonesia adalah 52-54 tahun, sangat tua sekali, padahal kita saat ini sedang mengalami bonus demografi penduduk usia muda. Menurut sensus, antara 2010 hingga 2014, jumlah petani dengan usia produktif, yaitu antara 15-29 tahun, memang mengalami penurunan signifikan, yaitu dari 9,3 juta menjadi sekitar 8 juta," tambah Fadli Zon.
Di luar pendekatan struktural atas sektor pangan di Indonesia, yang masalah dan pemecahannya sudah banyak dibahas oleh para ahli dan pemerintah, Fadli mengusulkan agar problem tersebut juga coba dipecahkan dan dilengkapi dengan pendekatan baru.
Ia menyebutkan bahwa soal ketahanan pangan ke depan tidak boleh hanya seolah-olah dibebankan kepada para petani produsen, alias petani profesional.
"Secara struktural, produksi pangan memang dikerjakan oleh para petani di lahan pertanian, namun secara behavioral, atau kultural kita harus memiliki sejenis tanggung jawab etik bahwa soal ketersediaan pangan merupakan tanggung jawab setiap orang. Itu sebabnya, semua orang harus belajar bertani dan melakukan praktik pertanian. Ini salah satu isu yang akan dikampanyekan oleh HKTI," ujar Fadli Zon.
Masih kata Fadli Zon, perlu dijadikan prinsip bahwa setiap keluarga di Indonesia diharapkan bisa memenuhi sebagian kecil kebutuhan pangannya secara subsisten.
Sehingga, setiap orang jadi tergerak untuk bertani.
Misalnya saja, dengan memanfaatkan lahan pekarangan, atau bagi masyarakat perkotaan melalui pertanian dalam pot, mereka menanam bumbu-bumbu dapur atau sayuran yang sering dikonsumsinya sendiri.
Intinya, setiap orang harus ikut bertani dan merasa memikul tanggung jawab atas kebutuhan pangannya sendiri.
"Itu sebabnya selain memiliki program dengan pendekatan struktural, seperti mendorong agenda reforma agraria, melakukan pendidikan dan pelatihan produksi, mendorong perbaikan tataniaga komoditas pertanian, membangun pendirian BUMD-BUMD pangan, HKTI juga akan melakukan kampanye nasional 'Ayo Bertani!'," kata Fadli Zon.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.