12 Tahun Perjuangan Suciwati, 'Nyawa Kami Masuk Sayembara'
Bagi Suciwati perintah Presiden Jokowi kepada Jaksa Agung untuk menemukan dokumen tersebut tidak akan menjawab akar permasalahan.
Penulis: Valdy Arief
Editor: Hendra Gunawan
"Perintah Presiden Joko Widodo kepada Jaksa Agung beberapa waktu lalu tidak menjawab persoalan ini." Suciwati, istri Aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib.
TRIBUNNEWS.COM -- Kekecewaan Suciwati itu disampaikan saat merespons Presiden Joko Widodo dalam menindaklanjuti keputusan Komisi Informasi Pusat terkait hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir. Bagi Suciwati perintah Presiden Jokowi kepada Jaksa Agung untuk menemukan dokumen tersebut tidak akan menjawab akar permasalahan.
Suciwati mengatakan, sejak putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) No. 025/IV/KIP-PS-A/2016 tanggal 10 Oktober 2016, seharusnya Presiden Jokowi menyatakan kesediaannya untuk membuka hasil TPF kasus Munir kepada publik.
12 tahun Suciwati mencari keadilan dalam pengungkapan kasus pembunuhan sang suami yang tewas diracun dalam perjalanan dari Singapura menuju Belanda. Terakhir, bersama KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan), Suciwati menggugat pemerintah terkait hasil tim pencari fakta pembunuhan Munir melalui Komisi Informasi Publik (KIP). Dalam putusan yang keluar pada 10 Oktober silam, pemerintah diharuskan membuka hasil investigasi soal kematian Munir.
Kepada Tribun, Suciwati mengaku tidak mudah memperjuangkan keadilan dalam mengungkap dalang pembunuhan sang suami. Selain harus menelan kesedihan karena sang suami direnggut paksa darinya, Suciwati kerap mendapati ancaman. Jumlahnya pun tidak bisa dia hitung lagi.
Suciwati menyebutkan saat TPF masih bekerja saja, mulai telepon gelap sampai surat kaleng pernah dia hadapi.
"Ada surat yang beri tahu kalau kami disayembarakan dan ada nilai yang diberikan untuk kami," sebutnya di kantor KontraS, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (19/10).
Dalam surat tanpa pengirim jelas itu, diberitahukan bahwa ada imbalan bagi orang yang bisa menculik atau menghilangkan nyawanya.
Pernah pula, anaknya didatangi seorang laki-laki saat bersekolah. Kepada guru anak Suciwati, orang itu mengaku ingin memberikan pengamanan. "Saya bilang ke dia, kami ngak minta pengawalan. Ini malah jadi seperti menakut-nakuti," ungkapnya.
Namun, hal itu tidak membuat Suciwati gentar. Dia sadar akan resiko hidup dalam kegiatan membela hak orang lain yang dirampas memang tidak mudah. "Saya abaikan saja yang negatif seperti itu. Kami tidak mau terjebak dalam ketakutan," tuturnya.
Kelola Museum
Saat ini, selain tetap berupaya membuka tabir kelam kasus penghilangan nyawa suaminya, Suciwati sibuk mengelola museum untuk mengenang perjuangan Munir. Tempat yang dinamakan Omah Munir itu terletak di Batu, Malang, Jawa Timur.
Ia juga tengah menyusun modul pendidikan HAM untuk tingkat SMP dan SMA bersama Kementerian Agama. "Saat menikah saya jadi ibu rumah tangga. Setelah Munir meninggal, saya kembali dalam aktivisme. Dulu kan saya aktivis buruh, bertemu Munir juga di dunia aktivis," katanya.
Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla genap dua tahun berjalan. Dalam waktu yang sama pula jutaan rakyat Indonesia masih menunggu janji masa kampanye untuk dipenuhi.
Di antara yang masih setia menanggih janji adalah sejumlah keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Mereka tetap berdiri mengenakan baju hitam dan payung berwarna sama sembari menghadap Istana setiap Kamis sore.
Kamisan di Istana
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.