Tidak Ditahan KPK, Pendukung Gubernur Sultra Nur Alam Bersorak
Nur Alam dicecar pernyidik 20 pertanyaan mengenai tugas pokok dan fungsi gubernur serta proses pembuatan IUP.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur Sulawesi (Sultra)Tenggara Nur Alam selesai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan dirinya saat memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) 2008-2012 di Sulawesi Tenggara.
Diperiksa sekitar delapan jam, Nur Alam dicecar pernyidik 20 pertanyaan mengenai tugas pokok dan fungsi gubernur serta proses pembuatan IUP.
Pada pemeriksaan tersebut, Nur Alam juga dikonfirmasi mengenai hubungannya dengan PNS pemprov Sultra Ridho Insana dan Direktur PT Billy Indonesia Widdi Aswindi.
"Bagaiamana proses izin pertambangan IUP. Kemudian (ditanya) apakah kenal dengan Ridho, Widdi dan sebagainya," kata Ahmad Rifai di KPK, Jakarta, Senin (24/10/2016).
PT Billy diduga sebagai perusahaan yang berafiliasi dengan PT Anugrah Harisma Barakah yang mendapat IUP dari Nur Alam. Mengenai dugaan tersebut, Rifai menolak untuk menjelaskannya.
"Tidak ada istilah PT Billy atau semuanya akan dijelaskan tentang siapa pun di situ. Termasuk bagaiamana proses keluarnya IUP misalnya. Secara lugas semua dijelaskan, sesuai dengan ketentuan yang memang menjadi kewenangan beliau
sebagai gubernur," ungkap Ahmad RIfai.
Ahmad Rifai mengatakan IUP tersebut dikeluarkan memang karena gubernur memiliki kewenangan berhubung lokasi pertambangan berada di dua kabupaten yang saling berbatasan yakni Buton Bombana.
"Kalau punya kewenangan yang bisa dikeluarkan gubernur itu kan yang lintas daerah. Di dua Kabupaten yang berbeda dan perbatasan maka gubernur. Kalau misalkan di satu kabupaten ya bupati, kalau di dua Provinsi ya pemerintah pusat," tukas Ahmad Rifai.
Walau diperiksa sebagai tersangka, Nur Alam tidak ditahan KPK.
Pada pendukungnya pun menyambut dan bersorak 'Allahu Akbar' melihat Nur Alam tidak mengenakan rompi oranye 'Tahanan KPK'.
KPK menetapkan Nur Alam sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang terkait persetujuan izin usaha pertambangan yang diterbitkan kepada PT Anugrah Harisma Barakah seluas 3.024 hektare di dua kabupaten yakni di Kecamatan Talaga, Kabupaten Buton dan Pulau Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana.
Sayangnya, penambangan tersebut juga dilakukan di kawasan hutan lindung. Nur Alam pun menurunkan status hutan tersebut dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Selain PT Anugrah, PT Billy Indonesia juga mendapatkan izin usaha pertambangan di hutan lindung seluas 2,2 ha.
PT Billy kemudian mengekspor nikel yang ditambang di Buton dan Bombana kekpada Richcorp Internasioal yang bermarkas di Hong Kong. Perusahaan tersebut pernah mentrasfer ke rekening milik Nur Alam 4,5 juta Dolar senilai Rp 56,3 miliar dalam bentuk polis asuransi.