2 Narasumber Ini Terlibat Perdebatan Serius Soal Kinerja PTDI dan Kebutuhan TNI AU
Connie mengatakan, PTDI memiliki sejumlah catatan wanprestasi atas kewajibannya menyelesaikan sejumlah pembelian pesawat TNI Angkatan Udara.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis pertahanan dan militer Connie Rahakundini Bakrie terlibat perdebatan serius dengan pakar komunikasi Tjipta Lesmana saat membahas masalah PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Penguatan Peran Industri Pertahanan Dalam Rangka Mendukung Kesiapan Alutsista TNI” di Jakarta, (1/11/2016).
FGD diselenggarakan oleh National Air and Space Power Center of Indonesia (NASPCI). Selain Connie dan Tjipta, hadir dua pembicara lain yakni Koordinator Imparsial Al Araf dan Kolonel Lek Rujito Asmoro dari Lemhannas.
Connie mengatakan, PTDI memiliki sejumlah catatan wanprestasi atas kewajibannya menyelesaikan sejumlah pembelian pesawat TNI Angkatan Udara.
Antara lain, 16 helikopter Super Puma yang dibeli TNI AU dari PTDI tahun 1996 dan hingga saat ini PTDI baru menyerahkan tujuh unit saja.
Lalu pemaksaan PTDI agar TNI AU menggunakan pesawat C295 buatan Airbus Defence and Space, padahal menurut hasil kajian yang dilakukan oleh TNI AU pesawat yang paling sesuai dengan kebutuhan adalah C27J Spartan buatan Leonardo-Finmeccanica, Italia.
Kasus terakhir, adalah penolakan PTDI terhadap tawaran pabrikan AgustaWestland untuk kerja sama dan alih teknologi helikopter AW101 yang dibutuhkan oleh TNI AU.
Saat menyinggung heli AW101 itu, Connie yang diberi kesempatan menyampaikan pemaparan selama 25 menit kemudian menyentil Tjipta Lesmana.
Ia mengatakan, “Maaf, Pak Tjipta. Suatu hari Bapak menulis artikel di media dengan mengatakan ada apa dengan KSAU yang sangat mendukung pembelian helikopter angkut AW101. Menurut saya itu ada reasoning bahwa dari sisi kapasitas saja AW101 itu lebih besar, mampu mengangkut 38 penumpang sementara Super Puma hanya 24. Dan AU butuh hal itu.”
Connie meneruskan paparan dengan menambahkan beberapa alasan yang menguatkan kebutuhan TNI AU sehingga memilih heli AW101.
“Sekali lagi saya tidak mengedepankan AW atau berjualan AW101 di sini, tapi saya ingin menceritakan bahwa ada alasan yang kita civilian mungkin tidak tahu kalau TNI AU telah mempelajari masing-masing pesawat sehingga AW101 lah yang dipilih oleh Angkatan Udara,” ujar Connie.
Berlanjut menyoroti masalah pokok industri pertahanan, Connie menjabarkan sekilas posisi Indonesia yang berada di tempat yang terancam.
“Ini penting diketahui supaya masyarakat juga tahu. Dengan mengetahui bahwa posisi Indonesia itu terancam, maka kita akan menyadari bahwa kita butuh TNI yang besar dan kuat. Dengan TNI yang besar dan kuat, industri pertahanan pun akan jalan,” tandas doktor lulusan Universitas Indonesia ini.
Yang jadi masalah kemudian adalah, bahwa negara selalu melihat hal itu dari sisi kebutuhan anggaran yang besar.
“Industri pertahanan memang mahal. Dan mahal untuk menjadikannya besar dan kuat. Akan tetapi, saya melihat bahwa yang selalu disoroti selalu masalah anggaran,” kata Connie.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.